26. Perseteruan yang Tak Kunjung Usai

890 255 660
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Maheesa membuka suaranya, terdengar bergetar sambil meremat plastik yang dia bawa. "S-saya ...

Ke sini ingin minta maaf dengan sepantasnya mengenai---"

Prasangka Maheesa bahwa mungkin saja ia akan diusir dari sana sontak tertepis kala Ibu Shana menggenggam lengannya dan langsung memotong ucapan Maheesa, "Apa kabar, Partha?"

Partha.

Iya. Dari dulu, panggilan Partha adalah panggilan khusus dari Ibu Shana. Hanya beliau yang memanggil Maheesa dengan nama deret keduanya.

Melihat mata beliau yang kian berkaca-kaca, perasaan Maheesa semakin luluh lantah. Bagaimana bisa wanita itu masih bisa menerimanya kala semua orang kian membencinya?

Pemuda itu lantas bersimpuh di depan beliau. Memegangi kakinya seraya terus meminta maaf. Barangkali permintaan maaf tidaklah cukup. Ia masih terus bersimpuh ketika Ibu Shana berusaha menariknya untuk berdiri kembali. "Partha minta maaf, Bu. Maaf karena baru berani menampakkan diri setelah insiden itu, Partha bener-bener menyesal karena pernah menyakiti perasaan Shana," ujarnya lirih.

"Berdiri, Nak."

"Maafin Partha, Bu. Seharusnya Ibu marah, tapi kenapa Ibu bertindak seolah Partha gak ngelakuin kesalahan apapun?"

Wanita itu menggeleng, ia berkata lirih, "Ibu sudah mengikhlaskan kepergian Shana. Ibu sadar selama ini, Ibu bertindak egois dengan terus menyalahkan kamu. Ibu tahu, ini semua bukan sepenuhnya kesalahan kamu, Nak. Sekarang, Ibu sudah berusaha lapang dada."

Beliau menarik Maheesa untuk berdiri, ia lantas menepuk bahu pemuda itu dua kali, "Jangan menyalahkan diri kamu, karena kejadian malam itu, memang akan terjadi. Semisal kamu berangan-angan kembali ke masa lalu, kecelakaan itu akan terjadi apapun caranya---meskipun bukan kamu orang yang terakhir menemani dia."

"Andai aja Partha gak bawa Shana ke sana, Bu. Maaf, Partha minta maaf."

"Ibu sudah mencoba ikhlas, Partha."

"Tapi---"

"Memang setelah kepergian Shana rasanya berat buat Ibu, jujur saja. Berhari-hari setelah itu, Ibu kehilangan nafsu makan, Ibu gak minat dengan apapun, hanya bisa menangis dan menangis lalu tidur. Sampai akhirnya suatu saat, ketika Ibu bersujud dalam doa, Allah kasih Ibu ketenangan jiwa. Perlahan Ibu sadar bahwa semua yang hidup pasti akan mati dan kembali pada sang pencipta. Kadang rasanya masih berat, tapi Ibu mencoba untuk tabah."

Maheesa Partha mungkin selama ini masih sulit untuk mengikhlaskan. Namun, setelah melihat bagaimana Ibu Shana sudah berlapang dada, ia seharusnya juga bisa.

"Ayo masuk dulu, kita bicara di dalam."

Beliau menggiring Maheesa masuk ke dalam. Begitu menginjakkan kaki dua langkah, netra Maheesa tertuju pada gumpalan bulu putih yang ada di sofa. Tengah menjilati badannya, dan ketika Maheesa ikut mendudukkan diri, kucing itu mengeong lembut, tanpa ragu kemudian duduk dalam pangkuan Maheesa.

Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang