•••
Satu, dua, bahkan tiga hari telah berlalu semenjak kepergian Maheesa. Selama itu juga, Renjani tampaknya masih begitu terpuruk atas rasa kehilangan. Meski ia terus berusaha meyakini dirinya untuk mengikhlaskan, tetap saja, yang hilang tak akan kembali. Rasanya sudah tidak sama lagi.
Gorden kamar tertutup, lampu juga dimatikan. Hanya tersisa kegelapan yang menemani waktu demi waktu. Renjani mengurung diri, ia bahkan tak tahu sampai kapan dirinya akan menyudahi keterpurukan ini.
Menyenderkan dirinya di dinding, Renjani membiarkan air matanya meluruh, barangkali agar sesaknya lekas hilang.
Malam semakin larut, semakin sesak rasanya, Renjani membiarkan tangisannya memenuhi setiap sudut kamar.
Semenjak kepergian Maheesa, ia bertanya-tanya, ke mana lagi dirinya bisa mencari Maheesa untuk meminta sebuah dekap hangat? Ke mana lagi ia bisa bersandar dari peliknya kehidupan? Bagaimana caranya agar rindu yang semakin mencekik ini terobati?
Hampa, kosong, ada bagian yang telah hilang dari hidupnya.
Detik demi detik berlalu dengan kepedihan, matanya kian memburam, namun, entah bagaimana. Tiba-tiba saja Renjani melihat Maheesa tengah bersimpuh tepat dihadapannya. Terlihat begitu nyata. Tolong sadarkan dia sekarang juga!
Sesaat Renjani tak berkutik, sampai akhirnya pemuda di depannya ini bersuara.
"Udah ya nangisnya. Lihat tuh, kantong matanya makin tebel."
Renjani mengigit bibirnya untuk menahan tangis yang bergetar. Ia terdiam begitu Maheesa mengusap air mata dan perlahan merengkuhnya. Terasa begitu hangat.
"Kak Heesa?"
"Iya, Dek?"
"Ini beneran kamu?"
Pemuda itu mengangguk.
"Aku udah beli bakpia yang kamu mau, ayo kita makan bareng. Kamu marah ya karena aku kelamaan beli bakpia, makanya itu kamu pergi?"
"Enggak, aku gak marah."
“Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang. Tidak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan datang, tidak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kamu bawa. Tidak ada lagi bahu yang nyaman untuk bersandar. Sampai kapan? Sampai kapan akhirnya aku bisa mengikhlaskan kamu untuk pergi?”
“Renjani, kata dokterku, akan ada masanya orang-orang datang lalu pergi. Ini hanya tentang bagaimana cara mereka berpamitan. Tidak semua perpisahan itu dapat diterima. Namun, apa yang sudah berlalu biarlah berlalu. Dan perihal itu, maaf sebab pemuda ini hanya bisa memberikan bahu bersandarnya untuk sementara. Juga maaf karena pada akhirnya perpisahan tidak bisa terelakkan.“
"Tapi kenapa secepat ini?"
"Pernah dengar? Takdir adalah jalan terbaik yang Tuhan beri. Mungkin kisah kita hanya singkat, tapi daripada menyesali lebih baik kamu mengingat. Ingat hal-hal baik yang kamu lalui bersama aku. Simpan semuanya dalam memori dan kenang sekenanya. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan, ya? Hidup terus berjalan, orang-orang akan pergi dan datang. Waktu yang akan bantu kamu untuk ikhlas. Sekarang, jangan nangis lagi, ya? Kamu ingat permintaan aku malam itu kan? Aku pengen kamu bahagia, meski tanpa aku. Segitu udah cukup bagiku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] ❝Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang. Tidak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan desember datang, tidak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kam...