•••
Malam itu, setelah enam bubble chat yang dikirim Maheesa terbaca oleh sang puan---berisikan permintaan maaf sebab tidak bisa melakukan jemputan pagi---Maheesa sengaja tak mengangkat panggilan Renjani yang bertubi-tubi. Bukannya ingin menghilangkan diri, Maheesa hanya belum bisa memberitahu Renjani apa alasannya, pun juga bercerita tentang masa lalunya.
Karena selepas mengantar Renjani pulang, Maheesa yakin bahwa kehadiran sosok Shana yang hanya dilihat sekejap itu membawa pertanda besar. Meski menatapnya tanpa ekspresi. Namun, kembali membuat ia tenggelam dalam kubangan rasa bersalah yang sama. Anggaplah itu halusinasi, tapi bagi Maheesa benar-benar terasa nyata.
Sebab besok adalah peringatan ke empat pasca insiden berdarah dan Maheesa sadar kalau keluarga dari mendiang Shana masih belum memaafkannya. Tentu, hal itu yang terus mengganjal dihati.
"Halo Jen?"
"Ada masalah apa?"
Suara dari seberang telepon itu adalah suara Rajendra. Maheesa sengaja menghubungi sahabatnya untuk meminta pendapat guna menemukan jalan keluar demi menuntaskan yang belum usai.
"Besok hari peringatan ke empat, Jen."
Rajendra terdengar bergumam---seperti tengah berhitung---lalu kembali menanyakan, "Mau ke makam lagi?"
"Iya."
Mendengar suara Maheesa yang serak, membuat Rajendra paham bahwa pemuda tersebut agaknya masih berat. Berat melepaskan, berat menanggung rasa bersalah, juga berat untuk tidak menoleh ke belakang. Kendati bayang-bayang masa lalu tak sepenuhnya hilang.
"Jen, rumah Shana yang lama masih dihuni sama orang tuanya, 'kan?"
"Sepertinya iya. Udah lama gue gak silaturahmi ke sana. Mungkin terakhir kali dua tahun yang lalu. Jangan bilang lo mau ke sana?"
"Gue harus ke sana, Jen. Harus. Gue mau menuntaskan semuanya. Gue mau mendapatkan pengampunan dari mereka. Meskipun gue gak yakin apakah nanti kehadiran gue di sana bakalan diterima."
"Yakin? Waktu pemakaman aja, lo diusir dari sana 'kan? Gue takut justru Andra lebih disulut emosi. Mahee, gue temenin ya?"
"Enggak usah, Jendra. Ini masalah gue sama mereka, lo nggak ada sangkut pautnya, lagian kedatangan gue ke sana cuma mau bersimpuh dan meminta maaf. Sebab di sini, di dada dan pikiran gue rasanya masih berat, Jen. Gue rasa masalah empat tahun yang lalu belum sepenuhnya kelar gitu aja."
"Tapi gue takut Andra main hakim sama lo, Mahee. Gue tahu ini semua bukan sepenuhnya salah lo, bahkan selama empat tahun terakhir lo juga menderita. Gue temenin, nggak ada penolakan."
"Jen."
"Bisa gak sih gue jadi temen yang berguna buat lo? Setelah lo memilih pergi dari rumah dan seakan menghilang selama bertahun-tahun, gue merasa kalau lo menopang diri sendirian dan bukannya membantu, gue seakan biarin lo terseok-seok sendiri. Gue tahu lo juga menderita, lo terluka, maka dari itu, tolong kasih kesempatan. Gue cuma mau jadi temen yang berguna. Berguna waktu lo susah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] ❝Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang. Tidak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan desember datang, tidak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kam...