"Hidup adalah tentang prasangka-prasangka, Renjani. Semesta menyimpan begitu banyak rahasia yang tidak kita mengerti. Sebab jalan semesta terlalu sempurna untuk dibaca dengan mata gegabah kita sebagai manusia."
Maheesa Partha Omkara
•••
Di hari Sabtu tepat pukul 5.35 PM, berlatarkan deburan ombak Pantai Parangtritis Jogja, dua insan manusia tengah asyik menikmati lembayung senja. Sejenak mengamati bagaimana sang mentari berada di garis terbarat cakrawala kemudian lambat laun tenggelam. Warna langit jingga yang berakhir kebiruan lalu menyisakan kegelapan.
"Pernah dengar kata orang-orang kalau Jogja diciptakan ketika Tuhan sedang jatuh cinta?"
Ketika pertanyaan itu diutarakan, Renjani yang sibuk mengamati hamparan pantai di depannya dibuat sedikit tertegun. Ia pernah sesekali mendengar ucapan itu, namun rasa-rasanya kalimat tersebut hanya bualan semata.
"Jika Tuhan menciptakan Bandung saat sedang tersenyum maka tak berlebihan jika kukatakan kalau Tuhan menciptakan Jogja ketika sedang jatuh cinta."
"Bukannya itu cuma cocoklogi dari warganet aja?"
Maheesa menoleh ke arah Renjani, pemuda itu mengangguk, "Iya. Tapi gue setuju dengan itu. Mau tau kenapa? Selama dua puluh satu tahun hidup, sejauh manapun kaki gue berusaha melangkah pergi sejauh-jauhnya dari Jogja, pada akhirnya langkah gue bakal terus berakhir di sini. Jogja itu seperti magnet yang akan terus menarik gue pulang. Ada banyak alasan yang bikin gue jatuh cinta sama Jogja."
"Jogjakarta, penuh banyak misteri, tempat di mana gue merasakan lika-liku hidup yang kadang sulit dihadapi. Tempat menemukan makna arti dari sebuah alasan sederhana; kenapa gue dilahirkan?"
"Semakin dewasa, gue sadar banyak hal yang terlewat begitu cepat. Padahal baru kemarin rasanya gue merayakan ulang tahun ke-tujuh belas. Seperti baru kemarin rasanya gue memilih untuk menopang diri dan keluar dari titik zona nyaman guna belajar hidup mandiri."
Renjani memilih terdiam dan membiarkan Maheesa mengeluarkan semua yang ingin dia katakan. Barangkali, pemuda itu memang berniat melepas semua beban yang selama ini ia tumpuk sendiri.
Deburan ombak yang konstan bergulung, aroma air asin yang menyelimuti, juga warna langit yang pelan-pelan berubah seakan ikut menjadi pendengar bisu yang siap mendengarkan potongan-potongan cerita dari Maheesa Partha.
"Dunia ini banyak teka-teki. Kita gak akan pernah tau sampai kapan kita masih bisa bernafas, sampai kapan kaki kita masih bisa melangkah, juga sampai kapan kita masih bisa bertemu satu sama lain. Takdir, katanya. Yang hanya bisa kita perbuat adalah cukup lakukan yang terbaik dan biarkan semesta mengambil alih sisanya."
"Hidup adalah tentang prasangka-prasangka, Renjani. Semesta menyimpan begitu banyak rahasia yang tidak kita mengerti. Sebab jalan semesta terlalu sempurna untuk dibaca dengan mata gegabah kita sebagai manusia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] ❝Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang. Tidak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan desember datang, tidak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kam...