Fajar sungguh tidak enak dengan sifat diamnya Fajri. Ia merasa sedikit aneh, ada rasa sepi diantaranya. Bukannya tadi ia sangat ingin Fajri diam, tapi nyatanya ini sangat tidak mengasikkan.
"Jri," panggil Fajar.
"Hm," jawab Fajri bergumam, tapi masih bisa tersenyum. Ia sungguh bahagia saat abangnya tersebut memanggilnya.
"Lo gak papa?" tanya Fajar melirik Fajri sekilas.
Fajri tersenyum sekilas, tapi dalam hatinya ia sangat! Sangat! Bahagia bukan main. Ini adalah kali pertamanya Fajar bertanya tentangnya. Ingin sekali Fajri berteriak histeris, tapi ia ingin mau mengerjai abangnya ini.
"Gue diem aja kali yah, biar di perhatian sama Bang Fajar," batin Fajri tertawa dalam hati.
Hah! Teryata setelah Fajri menjawab tidak papa, Fajar tidak lagi bertanya, ini sungguh membuat Fajri menghela nafas kasar. Lalu tanpa sadar Fajri berjalan cepat meninggalkan Fajar dari belakang.
"Punya abang gini banget! Gak peka!" gumam Fajri.
"Tuh, 'kan gak di kejer! Ck!" Fajri sungguh kesal dan ia mulai berjalan santai agar bisa bersebelahan lagi dengan Fajar.
Tidak ada gunanya juga kesal atau marah dengan Fajar. Fajar adalah orang yang tidak terlalu peduli dengan bhak kecil seperti ini. Tapi Fajri juga tidak bisa marah dengan Fajar lebih dari lima menit.
Tak lama mereka telah sampai di lantai dua. Pekerja di sana tampak tunduk dengan Fajar dan Fajar. Semua pekerja disana juga tau bahwa Fajar dan Fajri adalah anak dari sang pemilik lestoran.
Kasus anak kembar tersebut kini tengah celingak-celinguk mencari tempat duduk kosong, tapi nihil semua meja penuh, sungguh lestoran keluarga Virgo sangat ramai.
"Permisi Den Fajar dan Fajri mau makan, 'kan?" tanya seseorang laki-laki yang tiba-tiba datang, teryata ia adalah manajer di lestoran Virgo.
"Iya Pak, lantai berapa yah yang masih kosong?"
"Lantai empat, sama lima masih kosong, Den."
"Yok Bang kita kesana," ajak Fajri menarik paksa tangan Fajar.
Sepertinya adik kakak pada umumnya, kini Fajar dan Fajri makan bersama. Ini adalah hal yang baru diketahui oleh Fajri, jika Abangnya tersebut sangat menyukai sosis, dengan minuman es coklat, atau coklat dingin.
Ketahuilah Fajar sudah menghabisi satu lingkar pizza sosis berukuran besar. Padahal Fajri sudah melarangnya dan lebih baik makan nasi terlebih dahulu.
Selesai sudah makan siang mereka hari ini. Duduk sebentar untuk menurunkan makan agar bisa dicerna adalah posisi mereka saat ini. Fajar dan Fajri sama-sama terdiam. Oh tidak! Mana mungkin Fajri si pecicilan bisa diam.
Kini anak tersebut mulai menggeser tempat duduknya, untuk lebih dekat dengan Fajar. Entah spa maksud anak itu, tapi sudahlah Fajar lebih baik diam menyimak semua yang dilakukan adik kembarannya itu.
"Bang, kita foto yak," izin Fajri sudah siap-siap mengeluarkan hpnya.
"Gak!" njawab Fajar ketus.
Fajar adalah satu dari sepuluh cowo yang anti kamera. Bahkan dari lahir hingga usianya sekarang ia hanya memeiliki satu foto saja, itu juga karna paksaan.
"Ayolah, Bang," mohon Fajri mengeluarkan Poppy eyes-nye.
"Gak mau," sentak Fajar lagi.
Sungguh Fajri baru tau jika Abangnya ini sangat anti kamera beda dengannya yang selalu cekrak-cekrek di mana-mana.
"Tinggal senyum, cekrek, selesai! Gitu aja susah!" batin Fajri.
Fajri menyerah, ia tidak ingin hanya gara-gara ingin mengajak Abangnya foto berakhir dibenci lagi.
"Jri! Lu fotoin gue diem-diem, 'kan!" hardik Fajar, menyadari jika Fajri mengangkat HP nya ke arahnya.
"Enggak kok, Abang jangan kepedean deh," jawab Fajri.
"Awas kalo lo fotoin gue diem-diem!" ancam Fajar menatap ganas ke Fajri.
***
Fajar kini tengah termenung di depan toilet, memegangi baju basket berwarna biru gelap di padukan dengan warna hitam pekat, dan ada warna merah sedikit. sudah terdapat namanya Fajar di belakang punggungnya dan angka delapan di kaki kanan dan di dada. Akan kah ia harus bermain basket meskipun ini bukanlah bidangnya sama sekali? ia sungguh erasa telah menghianati permainan sepak bola nya. Padahal ini sama sekali tidak masalah. Sungguh Fajar sangat Aneh.
"Bang! Ya ampun belum ganti baju juga," kaget Fajri, yang sudah rapi dengan baju basketnya.
Fajar lagi-lagi diam, ia bingung harus apa, pikirannya sungguh kosong. Hari ini adalah hari Senin, hari dimana pertama kalinya bermain basket, dan hari pertamanya tidak datang latihan bermain bola sepak.
Inilah yang membuat ia sedikit sedih, untuk pertama kalinya ia tidak datang untuk latihan bola sepak, padahal apapun kondisinya ia selalu datang, hujan, sakit, lapar, kena marah, dll, tidak membuatnya goyah untuk tidak latihan bola sepak.
"Bang, maafin Fajri yah, seharusnya kita gak latihan hari ini, biar abang bisa main bola. Tapi emang hari ini wajib dateng soalnya ada pelatihan khusus," sedih Fajri tau alasan Fajar kurang bersemangat.
Fajar masih diam, ia meninggalkan Fajri sendiri dan mulai melangkah untuk mengganti pakaian.
"Maafin Fajri, Bang," lirihnya, menatap punggung Fajar yang mulai melangkah jauh.
Selesai! Fajar masih menatap dirinya dari pantulan kaca yang memakai baju basket.
"Gak terlalu buruk," gumamnya.
"Gue gak yakin bisa suka basket, kaya suka sama sepak bola."
"Tapi gak papa, gak ada salahnya mencoba."
Fajar berbalik ingin menjumpai teman-temanya. Ah ralat teman-teman Fajri saja, bukan teman-temanya.
"Wah! Bang Fajar keren pake baju basket uwuw!" kaget Fajri yang tadinya berniat untuk menyusul abangnya itu.
"Ayok Bang, kesana udah ditungguin." Fajri langsung menarik tangan Fajar, dan menggeretnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SMP (Sebatas Menghargai Perasaan)
Teen FictionWhen, gadis SMA menyukai siswa, yang masih duduk di bangku SMP. "Ngerayain hari valentine itu bukan budaya kita, budaya kita itu suka sama orang yang gak bisa di gapai!"