Part 23 : Si kembar

152 25 0
                                    

Pulang sekolah tiba. Fajri sungguh tidak sabar dengan ini. Di sepanjang koridor ia tersenyum amat sangat senang. Tadi niatnya Fajri adalah, ingin menjemput Abangnya di kelas sebelah, namun ternyata abangnya tersebut sudah meninggalkan kelas terlebih dulu.

Dengan segera Fajri berlari kecil menuju parkiran, rencananya ia akan pulang naik taxi. Pak Mamat pasti tidak menjemputnya, dan berfikir Fajri akan pulang bareng Fajar. Namun sayangnya tidak, Fajar telah lebih dulu pergi. Itu membuat hati Fajri sedikit sakit. Tapi tidak masalah, toh nanti waktu latihan basket juga ketemu.

"Bang Fajar tega bat, gak mau nungguin gue," oceh Fajri.

"Bodo amaah, nanti latihan basket juga bareng!" ucapan Fajri lagi menenangkan dirinya.

Kini Fajri tidak berlari seperti tadi, ia memilih untuk berjalan santai dan pelan saja. Ia sudah terlalu capek karna terlalu bersemangat hari ini. Ia bahkan sangat antusias bercerita tentang Abangnya pada teman-temanya. Fajri sungguh sangat-sangat senang hari ini.

"Takkan sia kan diaa .... belum tentu ada yang seperti diaaa ..." Fajri berjalan sambil bernyanyi kecil.

Hingga langkahnya terhenti begitu saja, saat melihat Fajar bersandar di depan mobil, sedang menatapnya dengan tatapan inrogasi. Tapi Fajri tidak peduli itu, ia teramat sangat senang melihat abangnya itu tidak meninggalkannya.

"Bang Fajar masih nungguin aku?" tanya Fajri tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Lama!" ucapan Fajar dingin, dan langsung masuk ke dalam mobil.

Di dalam mobil, tidak ada percakapan sama sekali, eh tapi tunggu tidak mungkin tidak ada percakapan jika ada Fajri disana, karna Fajri adalah orang yang selalu membuat suasana selalu hidup.

"Pak, Mama sama Papa di rumah?" tanya Fajri memulai percakapan.

"Gak ada den, tadi Mama sama Papanya Den pergi, katanya sih mau ke luar kota. Terus beliu titip pesan, katanya Nyonya udah kirim uang di rekening Den Fajar sama Fajri masing-masing lima juta," jelas supir pribadi Fajar tersebut.

Keluarga Virgo sungguh bergelimang harta, walaupun Fajar tidak pernah mendapatkan kasih sayang lebih seperti Fajri, tapi keluarganya tidak perhitungan tentang uang, mereka masih di beri keadilan apapun tentang uang.

"Lima juta doang? Biasanya sepuluh  juta, kalo Mama sama Papa pergi ke kota," sahut Fajri.

"Ia den, sepuluh juta kan kalo nyonya perginya seminggu, tapi ini katanya cuman tiga hari doang," jelas supir tersebut yang tahu kerna sudah di jelaskan oleh Mamanya si kembar.

"Ooh tiga hari."

Ini tidak dipermasalahkan lagi, Fajar dan Fajri sudah sering ditinggal ke luar kota, bahkan sampai luar negri sekalipun. Tidak perlu ditakutkan di rumah sendiri, masih ada puluhan pembantu di rumah keluarga Virgo.

"Bang ke lestoran dulu yuk, makan di rumah pasti gak enak, sepi," tanya Fajri meminta persetujuan Fajar.

Seperti biasa Fajar masih diam tidak memberi jawaban, dan menatap sekilas ke arah Fajri. Yes, teryata Fajri berhasil membujuk Fajar. Tidak perlu tau dari mana Fajri tau jika Fajar mengiyakan. Itu sudah terlihat dari gerak-gerik Fajar yang hanya diam dan meliriknya.

"Pak, kita ke lestoran yah."

"Lestoran Papanya Aden, 'kan?"

"Iya, Pak."

Tak lama setelah itu, mereka telah sampai di lestoran yang cukup besar, ralat bukan cukup besar! Tapi memang lestoran tersebut sangat besar. Tercatat lestoran berlogo Virgo diatas gedungnya tersebut, bisa menampung sekitar seribuan orang.

Bukan lestoran biasa, lestoran bernama Virgo tersebut terdapat sepuluh lantai, persis sudah seperti hotel. Lestoran Virgo tidak hanya menjual makanan di tempat saja, tapi sudah melambung jauh hingga ke kota-kota terdekat.

Lestoran Virgo, adalah lestoran terbesar di Indonesia. Sudah sangat terkenal di mana-mana, tidak sedikit orang yang rela datang jauh-jauh dari kota sebelah, hanya untuk mencicipi makanan di lestoran Virgo.

Bentuk lestoranya saja, seperti perusahaan besar. Di sana juga terdapat ratusan pekerjaan yang sudah di atur untuk mengawasi satu lantai - satu lantai.

"Bang mau lantai berapa?" tanya Fajri, karna lestoran sedang ramai pengunjung.

"Di lantai satu udah penuh, Bang, coba ayo lihat lantai dua."

Fajri segera menarik tangan Fajar, menuju lift, yang sudah disediakan agar lebih menyingkat waktu dan tidak buang-buang tenaga.

"Gue  naik tangga," ucapan Fajar dingin melepaskan tangannya dari genggaman Fajri.

"Yudah Fajri ikut Abang," jawab Fajri tidak ingin berpisah dari Fajar.

"Serah."

Mereka berdua berjalan menaiki tangga yang sudah tersedia, tangga tersebut sengaja di buat jika tiba-tiba terjadi kerusakan pada lift.

Fajar, memilih manaiki tangga, bukan karna tidak ingin bersama Fajri, tapi ini dilakukan hanya untuk sekedar olahraga saja. Lagi pula lift sudah cukup penuh, dan ia sungguh tidak sabar jika menunggu lagi.

Sebenarnya ada lift khusus keluarga Virgo disana, namun Fajar tetap memilih untuk menaiki tangga. Itu juga tidak masalah bagi Fajri, selama itu masih bersama Abangnya ia sungguh tidak masalah.

"Bang kenapa gak naik lift aja kan cepet, ngehemat waktu lagi, 'kan waktu adalah emas," cerocos Fajri tidak ingin diam-diam saja.

"Olahraga," jawab Fajar singkat, padat, dan jelas.

"Abang gak cape?" tanya Fajri tidak menyerah untuk terus bertanya, walaupun Fajar hanya menjawabnya singkat saja.

Fajar diam tidak menjawab, menurutnya Fajri terlalu banyak bicara. Sedangkan Fajri menganggap jawaban Fajar adalah 'iya'

"Tuh kan Abang capek," cetus Fajri.

"Ayok Bang, Fajri gendong," terang Fajri memberhentikan langkah Fajar, dan berdiri satu tangga dari Fajri, lalu menawarkan punggungnya untuk dinaiki Fajar.

Fajar sedikit terkejut dengan dengan tindakan adiknya tersebut. Padahal badan Fajar sedikit besar dibanding Fajri, ingat hanya sedikit.

"Bang, ayo naik, biar Fajri gendong," sentak Fajri, gemas melihat abangnya hanya diam sedangkan ia sudah setengah jongkok.

"Jangan bercanda," sahut Fajar bergeser, dan mengabaikan Fajri.

Dengan segera Fajri pun berjalan mengejar Fajar.

"Iihh Bang, Fajri serius ini."

Fajri sedikit kesal, ia mengerutkan bibirnya, menatap Fajar yang ada di sampingnya. Mungkin Fajar masih membencinya. Itu sungguh membuat Fajri menjadi murung seketika. Ia tidak lagi berbicara untuk sekedar bertanya kepada Abangnya tersebut.

"Mending gue diem aja, entar Bang Fajar tembah benci lagi sama gue," batin Fajri.

"Fajri kok jadi diem yah? Apa gue salah ngomong?" sungguh Fajar menjadi tidak enak sendiri.









Candu ga tuh? 🤤

SMP (Sebatas Menghargai Perasaan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang