SIXTEEN

2.4K 137 5
                                    

“Ra, udah belom?” Suara Ivan menembus tembok kamar. Ini sudah ketiga kalinya dia bertanya pertanyaan yang sama selama sepuluh menit dari ruang tivi. Gue yang masih membenarkan tatanan rambut hanya bisa pura-pura tidak mendengar. Dengan cepat gue menyematkan anting mutiara sebagai pelengkap dandananku siang ini. Tiba-tiba pintu terbuka, memperlihatkan Ivan yang sudang menampakkan muka bosan.

“Udah belom sih? Dandan lama banget.”

“Sabar, ini loh udah selesai. Lagian siapa suruh terlalu cepet siap-siapnya.” Gue mengambil tas kecil dan handphone lalu berjalan melewatinya. Siang ini kita akan menghadiri pernikahan teman Ivan. Gue dan Ivan kemudian memakai sepatu dalam diam dan menaiki lift.

“Nice dress.” Ivan memuji ketika di dalam lift

“Kan emang kamu yang beliin kemarin.” Gue mengingatkannya kalau-kalau dia lupa.

“Ya karena aku yang beliin makanya aku bilang nice dress.” Tanpa sadar gue mangap mendengar perkataannya barusan. Gue baru tahu kalau Ivan punya sisi narsistik.

“Dasar aneh.” Gue melangkah keluar lift menuju mobil Ivan yang ada di parkiran.

Perjalanan yang kita tempuh menuju tempat pesta diwarnai dengan hujan di sepanjang jalan, didominasi keheningan antara gue dan Ivan. Dia sibuk menyetir, gue sibuk melihat akun media sosial sambil sesekali melihat produk-produk kecantikan yang mungkin saja cocok.

“Ra, kamu udah lihat foto-foto nikahan kita yang dikirim sama pihak fotografernya belom?”

“Emang udah dikirim?” gue menoleh ke arah Ivan.

“Udah, kemarin dikirimin link google drive lewat email. Kamu ga dikirimin emangnya?” Ivan masih fokus menyetir.

“Ga tuh. Coba aku mau lihat sini.” Dan Ivan langsung memberikan handphone nya yang ditaruh di sakunya kepadaku. Gue ga bisa berkata-kata melihat lock screen hapenya yang menunjukkan foto kita berdua ketika lamaran. Disitu gue tersenyum tipis menghadap ke kamera dengan kalung yang sudah bertengger cantik di leher, sedang Ivan terlihat gagah di belakangku. Tiba-tiba gue teringat bagaimana perasaanku hari itu. Dongkol, sebel, sedih, kesel, bingung, tertekan, jadi satu. Siapa yang ga bingung kalau tiba-tiba dilamar orang yang ga pernah kenal sebelumnya. Gue segera membuka gambar gmail dan langsung menemukan pesan masuk dari fotografer itu.

“Bagus-bagus ya fotonya.” Gumamku setelah melihat beberapa foto akad. Harus gue akui, gue cantik banget dengan riasan jawa, ditambah fotografernya memang pinter ngambil momen dan editannya pun oke. Ivan juga tampak sangat tampan berdiri di sampingku setelah kita berdua selesai menandatangani dokumen-dokumen pernikahan. Untungnya gue adalah tipe orang yang bakalan selalu tersenyum di depan kamera walau seburuk apapun suasa hati. Gue ga mau merusak kenangan sebuah momen dengan muka cemberut.

“Besok bakalan ada yang dikirim ke kita, ukuran 24R buat dipajang.” Ivan menimpali. Gue menoleh ke arahnya, 24R? Terlalu besar menurutku.

“Ga kegedean segitu?”

“Lah itu aja udah aku kurangi. Awalnya mama pengen dicetak 30R.” Gue menutup mulut dengan tangan ketika mendengar kenyataan itu. 30R setahu gue panjangnya 100 senti alias satu meter. Ga bisa ngebayangin gimana penuhnya dinding rumah kalau fotonya segede itu.

“Udah, ayo turun.” Gue melihat sekitar yang ternyata sudah sampai di lobby hotel. Setelah menyerahkan mobil kepada valet parking, gue dan Ivan langsung menuju ke ballroom hotel tempat pesta pernikahan teman Ivan diadakan. Gue agak tersipu ketika melihat Ivan mengisi buku tamu dengan nama “Ivan Suharso dan istri”. Begitu masuk pun kita disambut dengan jepretan untuk para tamu yang baru hadir. Tangan gue digandeng Ivan untuk keperluan pose terbaik, setelah itu gue melepaskan tangannya. Rasanya canggung bergandengan tangan di tengah kerumunan orang banyak.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang