TWENTY EIGHT

1.9K 119 13
                                    

"Ra"

Gue terdiam memandang pemilik suara tersebut. Berbagai perasaan bercampur dalam hati dan otak gue. Tapi gue tau, perasaan marah dan kecewa mendominasi hati gue sekarang.

Gue masih menatapnya ketika Ivan akhirnya melangkah mendekat. Dia mencoba menipiskan jarak di antara kita.

"Ra, aku kangen." Ratapnya pelan. Matanya sayu, terlihat lelah. Wajahnya tersirat rasa rindu yang menguar di udara. Gue masih diam, menggigit bibir agar tidak membalas perkataannya barusan.

"Ra, aku.."

"Pulang kapan?" Gue memotong perkataannya. Ivan seperti terkejut dengan pertanyaan dadakan yang gue ajukan. Sekejap ia langsung tersadar dari kagetnya dan diam sejenak.

"Barusan. Aku barusan dari bandara langsung kesini. Kejebak macet juga tadi." Gue hanya ber-oh ria sambil mengangguk kecil. Semua kata dan kekecewaan yang udah gue susun jauh-jauh hari hilang seketika. Gue ga tau apa yang harus gue omongin sekarang.

"Ra, aku.."

"Udah makan?" Gue kembali memotong perkataannya.

"Udah, tadi di pesawat."

"Trus koper kamu?" Ga ada koper yang terletak di kamar ini sejauh yang gue lihat.

"Aku tadi minta tolong sopir buat ambil barangku di bandara, trus aku suruh buat balikin koperku ke apartemen. Aku ga enak kalo nyusul kamu kesini bawa koper, nanti apa kata mama sama papa." Ivan menjelaskan dengan sabar.

"Takut ketahuan ya?" Gue mendengus sembari tersenyum kecut. Ivan seperti akan mengatakan sesuatu, tapi akhirnya ia tahan. Hening lagi.

"Ya udah, mandi sana. Aku buatin teh dulu." Dengan cepat gue melangkah meninggalkan kamar. Bohong kalo gue murni berniat bikinin dia teh. Gue hanya ingin cepat-cepat pergi dari kamar, menghindari percakapan yang lebih panjang lagi dengan Ivan.

Mama dan papa masih betah di depan tivi walaupun terkadang mereka sibuk dengan handphone nya. Gue melewati mereka dan mulai memasak air di panci. Hal ini memang sengaja gue lakuin demi mengulur waktu. Semakin lama gue di sini, semakin bagus. Walaupun sebenarnya hal itu ga terlalu membantu sih karena air yang gue masak cuma sedikit.

Gue kembali melewati mama dan papa sambil membawa secangkir teh hangat yang sudah jadi. Kali ini papa dan mama fokus melihat sesuatu yang ada di tivi, entah apa itu gue ga terlalu memperhatikan. Dengan hati-hati gue melangkah dan masuk kamar.

Jantung gue dibuat bekerja lebih cepat ketika gue melihat Ivan sudah duduk di pinggir kasur memakai kaos hitam. Entah bagaimana, tapi gue akui dia lebih punya aura yang kuat ketika dia pakai kaos hitam. Ia mengalihkan pandangannya dari handphone ketika mendengar langkah gue mendekat.

"Ini." Gue menyodorkan cangkir biru berisi teh yang langsung diterima dia. Dengan hati-hati ia menyeruput teh itu. Gue yang masih berdiri di hadapannya agak terkejut melihat ekspresinya yang mengerutkan dahi.

"Kenapa?" Refleks gue bertanya. Ia seperti ragu untuk menjawab.

"Ra, kamu serius masukin gula ke tehnya?" Ia bertanya pelan.

"Hah? Iya, tadi aku kasih gula kok. Kenapa emang?" Gue mulai panik. Tadi memang gue ga terlalu memperhatikan toples yang gue ambil. Tapi gue yakin gue ga mungkin salah ambil toples gula.

"Nih cobain. Asin." Ivan menyodorkan cangkirnya ke arahku. Gue yang mendengar perkataannya agak ragu untuk meminum teh itu. Tapi gue juga sedikit tidak terima kalau gue dituduh membuatkan teh asin. Gue yakin kok.

Gue menyeruput sedikit teh yang masih hangat itu. Sedetik, dua detik. Gue belum menemukan rasa asin yang Ivan bilang. Menurut gue teh ini manis.

"It's.. fine. This is fine." Gue berkata pelan ke Ivan sambil menyodorkan kembali cangkir tehnya. Sekali lagi Ivan menyeruput teh itu, kali ini ia meneguknya cukup banyak.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang