SEVENTEEN

2.1K 139 1
                                    

Gue sampai di apartemen ketika matahari sudah hilang. Hujan masih mengguyur di sepanjang jalan, tidak terlihat tanda-tanda akan berhenti. Gue berjalan ke arah lift dengan sedikit tertatih, efek jatuh ketika keluar dari taksi. Lift kosong ketika pintu terbuka, gue segera masuk. Badanku lengket efek baju yang lembab bekas terkena hujan. Harapan gue saat ini adalah bahwa gue masuk ke rumah dan menemukan Ivan tidur di kamar, melupakan kejadian hari ini dan tidak ingin membahasnya lagi. Tapi rasanya kemungkinan harapan itu terkabul mendekati nol. Ketika lift hampir menutup, pintu kembali terbuka dan menampakkan seseorang yang terengah-engah seperti mengejar sesuatu. Gue segera mundur untuk memberikannya sedikit ruang untuk menekan tombol. Gue menunduk melihat punggung kaki yang keduanya lecet akibat insiden tadi. Memang tidak sampai berdarah tapi rasanya tetap perih terkena udara.

Pintu terbuka dan gue langsung keluar dari lift, berjalan menuju unit Ivan. Perut gue laper banget rasanya, berbanding terbalik dengan tenaga gue yang rasanya ga mau diisi dan cuma pengen dibuat tidur. Gue melangkah masuk setelah memasukkan password. Harapan kecil gue masih menggantung, berharap Ivan tidur sekarang ini.

“Ra.” Sebuah suara berhasil menjatuhkan harapan kecilku. Raut muka Ivan terlihat seperti orang yang sedang khawatir. Ia mendekat. Gue melepas sepatu dan berjalan ke arahnya.

“Maaf aku telat pulang.” Gue merasa seperti anak sekolah yang ketahuan keluyuran sampai lupa waktu.
Hening. Gue ga berani melihat Ivan. Satu, dua, tiga, sampai hitungan kedelapan tetap tak ada suara.

“Kamu kehujanan?” Ivan memegangi rambutku yang setengah basah tak beraturan. Gue menghembuskan nafas dan menggigit bibir. Rasanya gue ga pengen mengeluarkan kata-kata apapun saat ini.

“Iya.”

“Kamu udah makan?” Gue bisa merasakan Ivan sedang mengamati di setiap detailku.

“Aku masih kenyang. Kamu pesen buat kamu sendiri aja.” Setelah itu hening. Gue tahu kita berdua sama-sama tidak mau membahas itu sekarang. Tapi gue juga paham bahwa hal-hal seperti ini kalau tidak dibicarakan akan menjadi masalah yang membukit. Gue akhirnya mendongak menatap Ivan.

“Aku mandi dulu ya. Terusin aja kegiatan kamu tadi.” Hanya anggukan yang gue terima sebagai jawaban. Gue pun mengangguk dan berjalan menuju kamar. Ketika gue menutup pintu kamar, samar terlihat Ivan yang kembali duduk di sofa.

Pilihan mandi memakai air hangat mungkin merupakan pilihan mutlak sekarang ini mengingat gue habis kehujanan. Sedikit berlama-lama di bawah shower cukup membuat suasana hati membaik walaupun tidak menghilangkan kekhawatiran tentang pembahasan krusial yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Gue bener-bener mengulur waktu sebisa mungkin sehingga gue bisa langsung tidur ketika keluar dari sini. Kenyataannya, Ivan duduk di pinggir kasur dan sibuk memegang handphonenya, urusan pekerjaan mungkin. Karena gue belum mau melakukan percakapan dengannya, gue memilih belok ke meja rias dan melakukan skincare routine selengkap mungkin.

Mungkin sekitar setengah jam gue melakukan segala hal di meja rias sambil sesekali melirik Ivan yang tidak bergeming sedikitpun. Menyerah, gue akhirnya berdiri menuju ranjang dan langsung bersiap untuk berbaring.

“Ra, duduk dulu deh.” Suara Ivan terdengar pelan. Sepertinya dia sudah mengubah posisi duduknya. Gue melihatnya, perasaan takut mulai menjalar ke seluruh tubuh. The time has come.

“What?” gue pura-pura budeg.

“Duduk dulu deh. Ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu.”

“Besok aja mau ga? Aku capek, Van.”

“Ga bisa besok, Ra. Sebentar aja, ga sampe lima menit.” Mana mungkin kurang dari lima menit. Memangnya dia cuma mau ngasih pengumuman?

“Apa Van?” gue menoleh menghadapnya. Yang gue ajak ngomong malah beranjak dari kasur dan mengambil sebuah kotak di ujung meja, memutari kasur dan berhenti di sebelahku persis.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang