TWENTY THREE

2K 128 8
                                    

Tidak ada yang bersuara antara kita bertiga. Semua diam, beradaptasi dengan suasana baru yang tiba-tiba ini. Gue dan Ivan masih memasang tampang bingung, khususnya gue yang ga tahu siapa dan apa hubungan orang yang berdiri di depan gue ini dengan Ivan. Ivan masih membisu, tapi pandangannya tidak putus dari sosok yang berdiri tersenyum di depannya.

"Van, kamu masih inget aku kan?" Wanita di depanku akhirnya memecah hening, mencoba menanyakan hal yang mungkin saja dilupakan Ivan. Kepalaku kutolehkan sedikit, melihat apakah Ivan masih membeku. Ivan menghela nafas dalam, sebelum akhirnya mengangguk.

"Iya, Indira. Aku masih inget." Oh, ini yang namanya Indira. Suara Ivan terdengar dingin, namun gue bisa melihat matanya memancarkan hal sebaliknya.

"Ga nyangka ya akhirnya kita ketemu di sini." Indira benar-benar hanya menatap Ivan tanpa perlu bersusah payah mengalihkan pandangannya ke gue yang berdiri tepat di samping Ivan. Mungkin gue ga kelihatan di matanya, dan hanya ada Ivan seorang diri berdiri di hadapnya.

"Ehm, Van aku balik dulu ya. Terusin aja ngobrolnya." Gue ga perlu menunggu jawaban dari Ivan, karena sifat omongan gue barusan adalah pemberitahuan, bukan sebuah ijin. Gue bergegas meninggalkan mereka dan berjalan menuju pintu kamar. Kalau Indira ini tidak bodoh, mungkin dia bakalan sadar kalau gue sekamar dengan Ivan atau paling tidak dia tahu gue punya suatu hubungan dengan Ivan. Tapi gue sanksi dia bakal menyadari hal itu.

Setibanya di kamar, gue cepat-cepat menghapus make up, membersihkan diri dan mandi. Gue ga peduli Ivan menunggu lama di depan pintu kamar karena memang dia ga bisa masuk tanpa kartu. Ada perasaan dongkol yang menjalar di seluruh dada gue, entah karena apa gue pun ga ngerti, tapi gue menduga rasa dongkol ini karena gue diabaikan oleh Indira, dianggap hantu tak kasat mata yang ga bisa dilihat manusia. Gue ga terbiasa diabaikan, dan itu bikin emosi di dada gue menumpuk saat ini. Untungnya mandi air hangat membantu gue sedikit rileks dan tenang.

Ketika gue baru merasakan kursi meja rias, sebuah ketukan terdengar dari arah pintu. Gue yang masih menggunakan kimono handuk dengan malas menuju pintu dan langsung membukakannya. Ketika Ivan masuk, mata gue bertemu dengannya sepersekian detik, sebelum gue melangkah meninggalkan Ivan yang masih terdiam di dekat pintu.

Gue beranjak menuju koper dan mulai memilih baju tidur. Entah siapa yang memasukkan baju-baju ini ke koper gue, tapi gue sama sekali ga menemukan baju tidur yang cocok versi gue. Yang ada gue malah melihat beberapa helai lingerie yang bahkan dipegang saja sudah terasa ngeri. Setelah benar-benar menyerah, gue akhirnya memutuskan untuk memakai tank top yang seharusnya jadi dalaman kemeja dan hot pants. Fix sih ini gue harus belanja baju tidur besok!

Gue berpindah ke koper Ivan dan mengambil baju ganti untuknya. Ketika gue berbalik, gue baru menyadari Ivan masih berada di tempat yang sama dengan terakhir kali gue lihat dia. Tatapannya mengarah langsung ke gue yang akhirnya menghampirinya.

"Ra,"

"Ini, mandi dulu pake air anget biar lebih rileks." Gue memotong perkataannya dan menyerahkan baju gantinya. Gue tahu dia akan mengatakan sesuatu karena mulutnya masih terbuka, tapi gue rasa gue ga butuh penjelasan malam ini, cukup rasa bahagia setelah jalan-jalan saja yang ingin gue rasakan untuk menutup hari ini.

Ivan kembali menghela nafas, tapi dia menuruti perkataanku tanpa protes dan langsung melangkah menuju kamar mandi. Gue cepat-cepat berganti pakaian sebelum dia selesai mandi, dan melakukan skincare routine dengan cepat. Tapi gue ternyata masih kalah cepat dengan Ivan yang mandinya super kilat.

Gue masih duduk di depan meja rias ketika Ivan keluar kamar mandi, sudah memakai kaos hitam yang tadi gue berikan kepadanya. Gue memandanginya dari cermin dan untuk sepersekian detik, mata kita bertemu sebelum akhirnya gue beranjak untuk menuju ke ranjang.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang