SIX

2.9K 142 1
                                        

Dari setelah subuh gue ga lihat batang hidung Ivan di penjuru rumah. Padahal gue bangun cukup pagi. Kesempatan ini gue pake untuk explore isi rumah Ivan, yang kelihatan rapi. Gue mulai dari ruangan terpenting di rumah ini : dapur. Kitchen set di apartemen Ivan gue akui langsung bikin gue jatuh cinta. Lengkap banget dan terlihat classy. Harga ga menipu kualitas emang. Gue beralih ke kulkas yang ketika gue buka, isinya udah mirip minimarket, hampir semua snack kesukaan gue ada disana. Pengen gue ambil, tapi gue merasa kayak maling di rumah suami. Ya walaupun ga sepenuhnya dia beneran jadi suami sih.

Karena gue ga tau mau ngapain, akhirnya gue nyetel tivi dan mencari siaran yang enak dilihat. Jam delapan Ivan dateng bawa bungkusan plastik yang ditaruh di meja makan. Dia kemudian masuk kamar dan ga lama setelahnya udah keluar dengan rambut basah, habis mandi ternyata.

"Habis dari mana kamu? Pagi-pagi udah ilang." Gue meliriknya yang kini menyentuh plastik bawaannya tadi.

"Habis jogging tadi. Ayo makan." Dia mengambil dua mangkok dari rak piring. Gue agak ragu untuk berdiri, tapi kemudian langsung beranjak ketika setelah lima detik gue hanya mlihat gerak-geriknya.

"Beli apaan?" Gue duduk di hadapannya.

"Soto ayam." Ivan menyerahkan semangkuk soto ke depan gue. Ia lalu duduk dan mulai menyendok isi sotonya. Saat makan kayak gini mungkin waktu yang tepat buat ngobrolin kegelisahan gue semalem.

"Boleh tanya ga?" Gue memulai. Ivan mengangkat kepalanya menatap ke arah gue dan mengangguk.

"Kenapa sih kita satu kamar? Kan kita belum terlalu akrab." Gue bisa melihat perubahan raut muka Ivan yang agak terkejut dengan pertanyaan gue, walaupun kemudian bisa disembunyikan. Gue menunggu dia memberi penjelasan.

"Ya karena kita udah nikah. Emang salah kalo sekamar? Seranjang?" Ia malah balik bertanya.

"Ya ga salah sih. Cuma emang lo ga ngerasa aneh ya tidur sama orang yang ga akrab?" Gue heran karena dia malah mengerutkan kening.

"Justru karena belum akrab, makanya kita harus mengakrabkan diri dengan banyak interaksi. Lagian ntar juga kita ga cuma tidur bareng kan?" Ivan melempar senyum simpul sambil naikin alisnya, gue paham maksud dia.

"Oh my god, Ivan!" Gue sedikit berteriak, diikuti tawa Iwan yang menggelegar. Soto udah ga nikmat lagi saat ini, gue menyingkirkan mangkok gue ke samping dan menatap Ivan.

"Oke, berhubung udah di mention, sekalian aja kita bahas masalah ini." Gue mencoba terlihat serius.

"Can we.. No, I mean let's postpone that thing!" Gue terlalu malu untuk menyebutkan hal itu, tapi gue yakin Ivan paham.

"And let me know why?" Ia terdengar santai dengan tetap meneruskan makannya.

"I just feel like I'm not ready for this, for all of this. Marriage, husband, and that." Gue memberi penekanan pada kata terakhir.

Setelahnya gue menunggu reaksi dari Ivan. Ia terlihat berpikir atas apa yang gue ucapkan barusan. Egois sih emang, tapi gue merasa ga sepenuhnya salah. Ia menghela nafas dalam.

"Aku paham perasaan kamu, sebenernya aku juga masih dalam fase menerima kenyataan. Dan kalo kamu belum siap, ga apa-apa. Kita mulai bareng-bareng dari awal." Tangan kanannya tiba-tiba menggenggam tangan kiriku. Gue menjengit dengan reaksinya barusan.

"Ntar juga lama-lama cinta." Dia melepas tangannya sambil terkekeh dan meneruskan makan. Pede banget nih orang.

"Paling juga lo yang kesengsem sama gue."

🐄🐄🐄

Acara berita menjadi pilihan gue untuk setelah makan malam. Gue ga benar-benar nyimak pembawa beritanya, melainkan mencuri pandang ke arah Ivan yang mencuci bekas peralatan makan kami tadi. Gue udah nawarin buat nyuci, tapi katanya dia lagi pengen ngerjain sendiri. Bagus malah, gue ga repot jadinya.

"Ada es krim ga di kulkas?" Gue bertanya ke Ivan. Sewaktu buka-buka kulkas tadi gue ga sempet lihat freezernya.

"Ada. Mau?" Ivan sudah berada di depan kulkas dan mengambil satu cup besar es krim rasa cookies. Kebeneran banget, itu es krim favorit gue. Ia berjalan ke arah sofa dan duduk di samping gue, menyerahkan satu cup besar es krim dan sendok. Ia lalu ikut menonton berita.

Gue jadi lebih fokus ke es krim yang ada di tangan daripada berita yang tayang. Sesekali masih gue dengerin, tapi lebih banyak ga fokusnya.

Kaki kanan gue tiba-tiba diangkat Ivan dan dilihatnya dengan seksama. Gue mengernyitkan dahi, ada apa sama kaki gue? Perasaan biasa aja, ga ada yang aneh.

"Ini kenapa?" Ia menekan titik di betis bagian bawah, terasa nyeri. Gue meringis. Gue mendekat mencoba melihat lebih jelas apa yang ditekan Ivan. Memar cukup besar.

"Ga tau, mungkin gara-gara pake sepatu hak seharian kemaren. Emang gitu badanku kalo kecapekan, suka memar-memar." Gue menurunkan kaki gue yang ada di pangkuan Ivan. Ga enak rasanya, seakan-akan gue majikan. Tapi Ivan tetap menahan kaki gue supaya ga kemana-mana.

"Sini yang satunya, aku pijitin sekalian." Gue melihat ke arah Ivan, memastikan apa yang baru aja gue denger. Ga salah kan?

"Ga usah, lo juga capek kan, wajar itu tuh."

"Gapapa, sini kakinya." Ivan mengulurkan tangannya meraih kakiku yang satu. Gue ga nolak kesempatan dapet tukang pijit gratis. Lumayan kan.

"Ya udah kalo maksa. Tapi mijitinnya sampe sini doang ya, ga boleh melebihi batas." Gue naruh tanganku di atas lutut, menandai batas pijitan yang udah mulai ini.

"Iya, tenang aja." Pijitan Ivan terasa mantap, mungkin efek tangannya yang besar dan tenaga dia yang lumayan. Gue meneruskan makan es krim yang tertunda.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang