TWENTY SEVEN

1.8K 100 12
                                    

Setelah beberapa lama, gue berhasil mengendalikan emosi gue untuk berhenti menangis. Mata gue panas rasanya, dan yang pasti bengkak. Sesekali gue masih sesenggukan ketika menarik nafas. Gue melepaskan pelukan Ivan dan membenarkan posisi duduk. Dengan masih menundukkan kepala, gue sadar kalau penampilan gue sekarang kacau.

Tangan gue dipegang, digenggam dan dielus oleh Ivan. Ia masih menunggu gue bercerita.

"Udah makan?" Gue hanya mengangguk menjawabnya. Gue melepas tangan Ivan dan beranjak dari sofa, gue malu berhadapan dengan Ivan.

"Aku ke kamar dulu, mau ganti baju." Gue meninggalkan Ivan sendirian di sofa. Bergegas gue mengambil kaos dan berganti pakaian di kamar mandi. Sisa make up yang gue udah ga ngerti lagi gimana bentuknya gue hilangin. Dari cermin depan wastafel, gue bisa melihat dengan jelas bengkak di kedua mata dan sekitarnya.

Lama gue berdiri diam mengamati diri gue sendiri di depan cermin. Bagian perut gue masih rata, dan mungkin ga akan terlalu terlihat ketika gue pake kaos atau baju oversized. Tapi sampai kapan gue akan diam, membohongi Ivan tentang kehamilan gue? Gue juga butuh periksa kandungan, dan seharusnya gue melakukan itu berdua bareng dia.

Pintu kamar mandi terbuka, dari cermin gue melihat Ivan masuk ke kamar mandi, perlahan berjalan mendekatiku. Lewat pantulan cermin, sorot mata kita bertemu sebelum ia dengan lembut memelukku dari belakang. Ia menghidu di kepalaku, menempelkan bibirnya disana. Tangannya melingkar, mengunci badanku di pelukannya.

"Van,"

"Hm?"

"Can you stay?"

Ivan menghembuskan nafasnya. Ia merengkuhku lebih erat untuk sepersekian detik sebelum akhirnya melepaskan pelukannya. Tangannya kemudian menyentuh kedua bahuku, membalikkan badanku dengan mudah.

Sekarang gue berhadapan dengannya, tatapan kami bertemu. Binar matanya memancarkan kesedihan, gue ga tau apakah rasa sedih itu buat gue, atau buat perempuan itu.

"I won't be long, I promise."

Gue ga kaget dengan jawaban yang keluar dari mulutnya. Itu adalah jawaban yang sebenernya udah gue tau dari awal, bahkan sebelum gue melontarkan pertanyaan ini.

"Van, I wanna tell you something. Tapi aku ga akan bilang sekarang kalo kamu mau pergi."

Tangannya terangkat, jemarinya mengelus pipiku lembut.

"Is it about us?" Ia bertanya pelan. Gue hanya menjawab dengan anggukan.

"Ra, please.." Ia terlihat mulai frustasi dengan keadaan ini. Gue menunduk, menghindari tatapan mengiba dari matanya yang memohon agar gue berhenti bersikap seperti ini.

"Nevermind, it's just a small matter." Gue berbohong. Sejak kapan having baby adalah small matter dalam sebuah pernikahan?

"Then what's the small matter you wanna tell me?" Sial, dia masih mengejar. Gue menggeleng mencoba meyakinkannya.

"No, I'm just having stomachache." Ivan menyentuh perutku, mengelusnya lembut.

"Kamu mau haid ya? Mau aku bikinin susu panas?"

Gue menggigit bibir mendengar responnya. Dia ga paham tentang hal ini, dia bahkan ga sadar kalau selama ini gue udah ga datang bulan. Gue menggeleng pelan sambil melepaskan tangan Ivan dari perutku.

"Udah sana kamu siap-siap. Nanti telat ke bandaranya." Gue memutuskan mengakhiri pembicaraan kita dengan mendorong badan Ivan keluar darivkamar mandi. Gue akan mandi dan menenangkan badan. Ivan berjalan tanpa perlawanan dan menutup pintu kamar mandi sembari masih memastikan gue benar-benar sudah tidak apa-apa.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang