TWENTY NINE

2.2K 105 17
                                    

"Jawab aku, Ra." Suara Ivan berubah dingin. Kesabarannya mulai menipis karena gue memilih tetap diam sedari tadi. Gue mendongak melihatnya, mukanya serius, dan gue sedang berusaha menekan rasa gugup menghadapi ekspresinya.

Gue menarik nafas dalam sembari memalingkan muka, lalu meraih tangan Ivan di atas perutku dan menurunkannya.

"None of your business." Gue melangkah pergi menjauh dan mengambil handphoneku, yang ada di otak gue sekarang ini adalah bahwa gue bener-bener telat ke kantor sekarang.

"Of course this is MY business. Aku suami kamu, Ra!" Suara Ivan meninggi, gue tahu dia sekarang mulai emosi, tapi bodo amat karena gue ga mau bertengkar lebih jauh tentang hal ini. Gue membereskan peralatan make up dan mengemasi barang-barang yang perlu gue bawa ke kantor.

"Rara!" Ia menghampiriku lagi dan mencengkeram lengan gue, kali ini lebih erat.

"Apa sih Van? Aku udah telat ngantor. Ini tuh masih pagi dan kamu udah ngajakin berantem."

"Bisa ga kamu kooperatif dikit buat diajak ngobrol? Aku dari tadi nanya ke kamu tapi kamu ga jawab sama sekali. Kamu tinggal jawab iya atau ga, selesai. Seenggaknya hargai aku sebagai suami kamu."

"Suami? Hah? Gini aja kamu baru bilang suami aku. Kalo kamu ngerasa jadi suami aku, seenggaknya kamu ga pergi jalan-jalan ke luar negeri berduaan sama mantan kamu itu!" Gue meneriakinya. Kita berdua saling menatap dengan kobaran api di masing-masing tatapan kami. Raut wajahnya seakan syok mendengar apa yang baru gue katakan, sedangkan gue masih menunggu perkataan selanjutnya dari mulutnya.

"Aku ga jalan-jalan sama dia, Ra. Aku cuma nganterin dia berobat, that's it." Ini, ini yang gue tunggu-tunggu. Pembelaan bodoh yang berhasil bikin gue tambah emosi.

"Okay, berobat. Sekarang kasih tau aku, bilang sama aku kalo kamu disana ga mampir kemana-kemana selain rumah sakit!" Suaraku meninggi, menantang Ivan yang diam, menjeda pertengkaran ini.

"Ra, ini ga ada hubungannya sama pertanyaanku tadi." Kali ini ia berkata lebih pelan. Gue tersenyum mendengus.

"Ada, ada Van. Iya, aku hamil. Puas?Masalahnya adalah kamu rela ninggalin aku yang hamil muda demi pergi sama mantan kamu itu." Ivan tertegun mendengarnya, padahal gue yakin dia seharusnya bisa menebak keadaanku sekarang berdasarkan tebakan dia tadi.

"I didn't know back then." Suaranya lemah.

"Kalo kamu tau pun kayaknya ga akan ada yang berubah, kamu bakalan tetep milih pergi ke Singapore sama dia, like you did when I asked you last time. Makanya aku milih buat ga ngasih tau kamu tentang kehamilanku. You know what? I feel sorry for this baby. Bahkan sebelum dia bisa tumbuh di perutku aja dia harus berbagi kasih sayang sama mantan pacar papanya." Nafasku memburu, emosi yang meluap membuat dada gue terasa sesak.

Hening. Ivan mematung mendengar semua kalimat yang barusan gue keluarkan, entah dia merasa tertampar atau apa, tapi gue menggunakan kesempatan itu untuk pergi.

"I'm done. Aku mau kerja." Gue melenggang pergi meninggalkan Ivan dan segera meraih kunci mobil. Sepatu pertama yang gue lihat langsung gue ambil dan pakai, mempercepat agar gue segera meninggalkan rumah.

Lift masih belum terbuka walaupun gue berkali-kali menekan tombol turun. Unit ini sepi, mungkin orang-orang sudah pergi kerja, berhubung memang ini sudah agak siang. Rasanya gue pengen menendang pintu lift ini supaya cepet membuka. I'm so done with this fucking elevator!

"Ra." Suara Ivan yang kini sudah ada di sampingku mengagetkanku. Gue menoleh sekilas sebelum gue kembali berdiri mengarah ke pintu lift.

"Aku anter." Ivan berkata sambil menggenggam tanganku. Gue langsung menghentakkan tangan agar terlepas dari tangannya.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang