THIRTY THREE

2.2K 119 34
                                    

"Kamu barusan bilang apa?" Ivan cepat-cepat mendorongku menjauh untuk melihat ekspresiku lebih jelas.

"Kayaknya kita butuh break." Gue mengulangi sekali lagi kata-kata yang gue sampaikan. Mata Ivan memandangiku penuh tanya, seolah-olah ia tak percaya atas apa yang ia dengar. Sorot pandangannya masih mencari kebohongan dariku, yang jelas ga akan dia temukan.

"Are you serious?"

"Of course, hundred percent serious."

"Aku kira kamu balik karena kamu mau mulai lagi dari awal, Ra." Tangannya mengelus lenganku, seakan-akan meyakinkanku dengan apa yang ia percayai sedari tadi.

"Iya, aku masih ngasih kamu kesempatan, Van. Kita bisa mulai lagi dari awal kalo kita berdua break dulu. Kita butuh waktu sendiri masing-masing, mikirin tujuan kita selama ini. Kamu pengennya gimana di hidup kita ini, begitupun sama aku. Kita tuh udah sejalan belum sih sama tujuan pernikahan kita? Itu yang harusnya kita pikirin."

Gue melepas kontak mata di antara kita dan berjalan menjauhinya.

"Mau kemana, Ra?" Secepat kilas Ivan memegang lenganku.

"Ke dapur, ambil es krim. Aku kemarin masih naruh es krim di freezer. Kamu mau?" Ivan menghela nafas lega, mungkin dia khawatir gue akan pergi. Ia menunduk dan menutup mukanya dengan kedua tangan, jelas frustasi dengan situasi sekarang.

"Do you want a hug?" Gue menawarkan diri yang langsung membuat kepalanya mendongak menatapku. Kita berpelukan beberapa waktu, dimana Ivan terus-terusan mengelus punggungku sambil menenggelamkan wajahnya di bahuku sebelum akhirnya gue melepaskannya, engap.

"Pesen makan aja yuk?" Ntar habis itu aku baru pulang." Gue mengajak Ivan. Terlalu lelah hari ini buat masak makan malam, dan gue juga ga berniat lama-lama di sini.

"Pulang kemana?" Dahinya berkerut mendengarku.

"Ke tempatku. Kita tetep pisah rumah, Van, kan lagi break." Gue mengingatkan. Mungkin konsep "break" yang ada di otak Ivan berbeda dengan pemahaman gue.

"Tapi, aku kira kamu.."

"Kita duduk aja dulu, kita obrolin ini di dapur, sambil aku makan es krim." Tanpa menunggu Ivan, gue berjalan ke dapur dan mengambil es krim di freezer. Ivan dengan diam menarik kursi meja makan dan duduk disana, menungguku menyusul duduk.

"Jadi, konsep break yang aku maksud itu adalah kita tetep pisah tempat tinggal, kayak yang udah kita jalani minggu ini. Trus kita ketemunya seminggu sekali." Satu sendok es krim berhasil masuk ke mulutku setelah menjelaskan itu.

"Aku ga mau." Ivan cepat-cepat menjawab seperti yang gue kira.

"Harus, Van. Kalo kamu ga mau kita ketemu seminggu sekali, ya udah dua minggu sekali."

"Raa.."

"Vaan.." Gue merengek, lalu diam.

Kita berdua sama-sama frustasi. Ego kita berdua saat ini tak terkalahkan, dan ini ga akan selesai kalo kayak gini terus sampai nanti malam.

"Okay, gini aja. Kita bikin kesepakatan yang sama-sama menguntungkan. Kamu bisa ngasih pendapat, aku juga gitu. Kalo sama-sama setuju, kita deal." Gue menyarankan. Es krim gue yang mulai meleleh gue sendok cepat-cepat.

"Kita tetep pisah rumah, dan ketemu tiap weekend aja. Aku akan pulang setiap jumat sore dan balik minggu siang. Deal?"

"No deal at all. Kamu balik Senin pagi, sekalian aku anterin berangkat kerja." Jelas dari nada suaranya, itu bukan pilihan. Gue sebenernya kurang setuju, karena bakal repot banget bawa baju juga buat persiapan hari Senin. Tapi ga ada salahnya karena gue juga masih pengen Minggu gue dihabiskan dengan rebahan dan bukan bolak balik.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang