THIRTY FOUR

1.8K 120 31
                                    

Ketika membuka mata, gue merasakan silau yang amat sangat sehingga gue bahkan memejamkan mata lagi. Gue berada di ruangan yang asing, dengan jendela yang menyajikan pemandangan tidak familiar, jelas ini bukan apartemen Ivan. Sayup-sayup gue mendengar beberapa suara yang saling bersahutan, seperti berdebat. Suara-suara itu, yang walaupun gue tau bukan di ruangan yang sama dengan gue, masih bisa terdengar cukup jelas.

"Kalo kayak gini terus kamu mau gimana? Nunggu yang lebih parah lagi?" Seorang perempuan sedikit terisak mengatakannya.

"Papa ga mau tau, Rara harus tinggal sama papa lagi habis ini. Kalo kamu ga bisa bikin Rara bahagia, kembaliin ke papa! Papa masih sanggup bikin anak papa bahagia." Gue tahu itu suara Papa. Ada apa sampai papa disini?

"Pa, Ivan.."

"Kamu itu Papa percaya buat jagain Rara, bahagiain Rara. Terlepas dari hubungan pekerjaan antara Papa sama keluargamu, Papa yakin kamu bisa bikin Rara lebih baik. Tapi apa kenyataannya? Kamu malah bikin anak Papa hidup sengsara, banyak stres."

"Pa, tenang dulu, sabar." Suara mama menyahuti Papa.

"Mah.." Gue mencoba memanggil mama dengan suara pelan. Ga ada jawaban, mungkin gue terlalu lirih.

"Mah.." Gue mencoba menaikkan suara, kali ini berhasil. Suara langkah kaki berjalan cepat mendekat dan semakin kuat.

"Sayang.." Tangis mama tak terbendung ketika akhirnya melihat gue membuka mata. Gue sekarang sadar, gue ada di rumah sakit dan sedang ada di kamar perawatan. Tangan kiri gue diinfus, dan itu bikin gue merasakan ngilu dan kram.

Mama, Papa, dan Ivan menatapku haru, seolah-olah gue bangkit dari kematian. Mama yang berada paling dekat denganku mengelus rambutku.

"Gimana Ra, ada yang sakit?"

Gue menggeleng, memang ga ada. Hanya ngilu sedikit di tangan karena infus. Gue mencoba mengingat lagi alasan gue berada di sini. Bukannya gue tadi jalan-jalan di taman bareng Ivan ya?

Lalu ingatan yang lainnya mulai muncul, gue ketemu Dina dan cekcok kecil yang berakhir gue didorong sampai jatuh. Dari situ gue inget kalau gue berdarah di apartemen, setelahnya gue ga tahu apa yang terjadi.

"Aku kenapa tadi? Pingsan ya?" Tanyaku, mataku tertuju ke Ivan yang berada di sampingku.

"Iya, Ra. Tadi kamu pendarahan, tapi sekarang udah oke semuanya." Tangannya bersentuhan dengan kulitku. Gue tahu dia pasti pengen mengelus rambutku, tapi takut dengan mama dan papa.

"Bayi kita? Anak kita gimana?" Gue merasa jahat karena gue hampir ga inget dengan calon bayi gue di dalam perut.

"Alhamdulillah ga kenapa-kenapa, sayang. Jangan khawatir ya." Mama menjawab sebelum Ivan sempat membuka mulut. Gue menghembuskan nafas lega, ketakutan gue seketika hilang.

"Bisa ga kita pulang dari sini? Rara udah ga betah rasanya."

"Aku panggilin dokter dulu ya, biar di check." Ivan segera keluar kamar dan menutup pintu. Ketika ia hilang dari pandangan, mama menyentuh lenganku.

"Habis ini kamu pulang ke rumah aja ya, jangan sama Ivan dulu, biar cepet sembuhnya."

"Emang kenapa Ma? Gapapa lah, Ivan juga ntar pasti ngurusin Rara." Di saat seperti ini pun gue masih mencoba melindungi Ivan, tolol memang.

"Ya biar kamu lebih keurus aja, kamu habis sakit dan Ivan juga harus kerja kan? Ga mungkin dia bisa jagain kamu terus. Kalo sama mama kan ada temennya, lagian kalo di rumah, kamu ga perlu mikirin masak dan lain-lain."

"Ya gapapa Mah, Ivan bisa ijin kok, cuti ngurusin aku, lagian ..."

"Ngurusin kamu apa ngurusin selingkuhannya?" Penjelasan gue dipotong Papa. Mata gue hampir copot karena kaget, gimana papa bisa tau soal ini? Gue ga pernah cerita apapun ke keluarga, termasuk soal mantan Ivan.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang