THIRTY ONE

2.1K 138 17
                                    

Cahaya matahari yang menembus masuk melewati jendela kamar berhasil mengusik ketenangan tidur gue setelah subuh. Siluet bayangan seseorang membuka tirai menjadi pemandangan pertama yang gue lihat ketika membuka mata. Gue memejamkan mata lagi dengan tangan meraba selimut untuk menariknya menutupi dada. Gue masih ingin meneruskan tidur nyenyak di Minggu pagi ini.

"Good morning." Seseorang naik ke atas kasur dan membuat tekanan yang cukup dalam di sebelahku.

"Van tutup lagi tirainya, silau." Suaraku parau. Ada kekehan kecil yang gue dengar setelahnya.

"Ini udah jam delapan, Ra. Jangan tidur lagi, udah siang." Tangan Ivan menyingkirkan helaian-helaian rambut yang menutupi mukaku. Gue membuka mata sebentar, hanya untuk memastikan Ivan yang berada di depanku, dan tentu saja memang Ivan, tersenyum kecil ke arahku.

"Aku masih capek." Jawabku singkat. Gue ga bohong, kemarin gue seharian sibuk bantu persiapan acara arisan di rumah Ivan.

Gue pikir bakalan jadi acara arisan biasa, tapi ternyata yang gue lewatkan adalah bahwa acara itu jadi ajang kumpul keluarga besar, dimana banyak banget orang yang datang. Bahkan setelah acara resminya ditutup, sebagian besar masih stay di rumah untuk sekedar ngobrol atau main game bareng. Ivan contohnya, dia sibuk main game bersama saudara-saudaranya sehingga gue yang sudah membayangkan berbaring di kasur harus rela menungguinya sekitar satu jam. Kita yang awalnya berencana pulang setelah acara akhirnya memutuskan tidur di rumah Ivan lagi karena terlalu capek. Perut gue terasa kencang semalem yang mengakibatkan gue malah susah tidur, mungkin efek lelah.

Sebuah kecupan singkat mendarat di bibirku, memaksaku membuka mata lagi. Wajah Ivan benar-benar berada di depanku, hampir tanpa ada jarak yang berarti. Ia tersenyum ketika mendapatiku membuka mata setelah aksi spontannya tadi.

"Aku beneran capek, Van. Perut aku agak kenceng gitu rasanya gara-gara semalem." Senyum Ivan berganti dengan raut kekhawatiran yang melingkupi wajahnya. Salah satu tangannya langsung mendarat pelan di atas perutku, jari-jarinya bergerak mengelus.

"Masih kenceng?"

Gue menggeleng, udah engga. Tapi gue pengen jadiin itu alasan buat lanjut tidur di Minggu pagi ini. Seenggaknya gue pengen manfaatin sehari ini buat istirahat sebelum ketemu Senin lagi besok.

"Kasih aku setengah jam lagi buat tidur, habis itu terserah mau ngapain asal jangan bikin aku capek." Sebuah tawaran yang sebenarnya ga terlalu menguntungkan gue lontarkan ke Ivan, gue ga menunggu persetujuannya dan langsung memejamkan mata lagi, gue ngantuk.

"Iya. Ra, aku mau ngasih tau kamu sesuatu." Suara Ivan lembut.

"Apa?"

"Nanti aku kasih tau, ga disini yang pasti."

"Ya udah, mau tidur." Gue memeluk bantal panjang dan menjadikannya guling. Gue bener-bener ngantuk sampai di titik gue ga kepo dengan apa yang dikatakan Ivan barusan.

"Sini aku peluk." Ivan menarik badanku dan meletakkan telapak tangannya di punggungku. Kita berpelukan dalam keadaan miring yang gue biarkan, mengingat tangan Ivan yang memberikan efek nyaman dengan elusannya di punggung.

"Kamu kenapa jadi tambah cantik sih kalo lagi bangun tidur gini?" Sebuah gumaman terdengar di telingaku.

"Dari dulu." Jawabku singkat. Ivan terkekeh pelan dan semakin mengeratkan pelukannya. Gue membiarkan dia menciumi kepala dan pipiku, gue terlalu ngantuk untuk melawan.

🐄🐄🐄

Kita berdua pamit meninggalkan rumah mama Ivan sekitar pukul satu siang, mengingat Ivan ingin mengajak gue pergi ke mall sebentar untuk mencari flat shoes. Gue emang bilang kalau sekarang gue udah ga kuat pakai high heels, jadi kita memutuskan beli flat shoes baru untuk gue kerja besok.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang