Setelah drama pagi dan rencana pergi dadakan yang sukses membuat kepala pening, gue dan Ivan sekarang sudah berada di sebuah kamar hotel di Bali. Perjalanan menuju bandara tadi pagi cukup mengesankan dimana mama rela mengantar kami sampai kami masuk ke dalan ruangan check in untuk memastikan gue ga menggagalkan rencana honeymoon dadakan ini
Hotel tempat kami menginap memiliki pemandangan pantai yang luar biasa, dilengkapi dengan kolam renang luas dan akses menuju private beach cukup meyakinkan gue kalau hotel ini pricey. Untung saja mama mertua berbaik hati memberikan fasilitas ini kepada kami.
Gue masih memasang mode ngambek ke Ivan karena menyetujui rencana ini. Seharusnya kalau dia mau membuat alasan sedikit saja, gue mungkin ga akan berakhir di pulau ini seminggu ke depan bersamanya. Gue bisa membayangkan seminggu sendirian di apartemen Ivan dan hidup dengan tenang tanpa gangguan. Atau bahkan gue bisa pulang ke rumah mama dan menikmati masakan mama setiap pulang kerja.
"Ra, udah dong diemnya. Jangan ngambek terus kayak gini. Aku bingung harus ngapain." Ivan menatapku pasrah. Ia sudah berganti baju dengan memakai kaos dan celana pendek santai, sedangkan gue masih bertahan duduk di sofa pinggir kamar.
"Ya habisnya kamu ga belain aku tadi. Kan yang ada urusan kamu, kenapa aku diajak juga sih?" Gue merengut.
"Aku kira kamu bakalan seneng bisa liburan ke Bali. Makanya aku ga ngomong apa-apa tadi. I'm sorry." Ivan mendekat ke arahku dan berjongkok di hadapanku. Kedua tangannya menggenggam tanganku. Gue membuang muka, tidak ingin menatap Ivan.
"Kita lihat sunset aja yuk sambil beli ice cream. Mau ga?"
"Kamu kira aku anak kecil yang bisa dibujuk pake ice cream?" Gue masih merengut, tapi dalam hati sedikit tertarik dengan tawaran Ivan.
"Mau ga?" Sekali lagi ia bertanya.
"Mau." Jawabku pelan, tapi sukses membuat Ivan tertawa. Oke, gue akui gue butuh sesuatu yang bisa mendinginkan hati gue. Dan kali ini gue terpaksa menurunkan ego untuk mendapatkannya.
"Ya udah, ayok. Udah sore juga ini, kita nyari tempat yang enak buat lihat sunset." Ivan berdiri sembari membawa handphone nya. Ia mengulurkan tangan ke arahku, dan setelah berpikir beberapa detik akhirnya gue menyambut uluran tangan Ivan.
🐄🐄🐄
Kita berjalan menyusuri pantai yang sepi. Tidak banyak orang berada di pantai untuk melihat sunset, apalagi ditambah fakta bahwa kita berada di private beach yang dikhususkan pengunjung hotel. Mungkin tidak lebih dari belasan orang yang ada di sepanjang bibir pantai, menikmati hembusan angin sembari bermain air.
Gue dan Ivan memilih untuk duduk menghadap pantai di hamparan pasir putih, mencoba merasakan angin segar yang menerpa wajah. Rasanya menyenangkan, seperti refreshing sejenak di rumitnya isi otak gue yang dipenuhi pekerjaan selama ini.
"Aku boleh nanya ga Ra?" Ivan membuka percakapan. Gue mengangguk tanpa melihatnya.
"Kamu pernah pacaran?" Gue tertawa mendengar pertanyaan Ivan. Sangat random.
"Pernah lah, sekali. Kenapa?" Ivan menggeleng, ia menundukkan kepala dan tersenyum menatap pasir.
"Pengen tahu aja. Kamu ga pernah bener-bener terbuka sama aku."
"So do you." Gue cepat-cepat menimpalinya. Tatapan mata kita bertemu, dan gue dengan percaya diri menatap dalam ke matanya, menunggunya mengakhiri perang tatapan ini. Ivan cukup lama terpaku seakan tertampar dengan perkataanku yang menohok.
"Aku ga terbuka sama kamu karena kamu juga gitu, Van. Pernah ga kamu cerita tentang mantanmu yang dateng ke apartemen dulu? Pernah ga kamu cerita tentang Indira itu siapa? Kamu ga pernah mau nyeritain semua itu ke aku. Jadi aku tanpa sadar membuat benteng juga, sama kayak kamu." Ucapku enteng. Semua yang gue katakan barusan adalah fakta.
KAMU SEDANG MEMBACA
(UN)MONOTONOUS MARRIAGE
RomansaRara, gadis yang bisa dibilang sukses di usia muda tapi tidak memiliki planning hidup ke depan bertemu dengan Ivan yang menurutnya hanya seorang om-om kaya di acara makan malam investor ayahnya. Mereka kemudian menikah dan menjalani pernikahan yang...