ELEVEN

2.4K 139 0
                                    

Diana kembali lebih awal ke hotel karena ternyata kliennya kali ini tidak banyak permintaan. Sebelum makan siang kami sudah pergi dari hotel menggunakan mobil yang disewa Diana. Kami berencana makan di salah satu restoran cepat saji favorit Diana, walaupun sebenernya gue ga terlalu suka makan junkfood. Masih ada waktu untuk sekedar nongkrong di kafe, menikmati kopi sambil menunggu matahari agak condong ke barat sebelum pergi ke taman bunga.

Jarak yang sebenarnya bisa ditempuh dalam dua puluh menit, berubah menjadi dua kali lipat berkat kemacetan Bandung. Tapi semua itu terbayar ketika kami sampai di taman bunga yang jarang orang. Memang kami datang bukan di saat liburan, jadi tidak terlalu ramai. Kami berdua hanya berkeliling sekitar setengah jam, lalu mendaratkan tubuh di salah satu kursi di kafe resto yang ada di area taman. Kami memilih duduk di pojokan yang menghadap langsung ke arah taman. Diana sudah sibuk menyeruput teh hangatnya.

“Gimana Ra rasanya married?” Diana terkekeh mendengar pertanyaannya sendiri. Gue hanya menggelengkan kepala.

“Ga tau. Biasa aja menurut gue.” Gue mengendikkan bahu
“Ih, kok gitu sih Ra? Itu, itu gimana rasanya?” Sekarang Diana menaikkan alisnya, gue paham apa yang dia maksud.

“We don’t do that, Di.” Gue memutuskan membukanya ke Diana karena gue percaya dia ga akan beberin ini ke siapapun. Lagian siapa juga yang tertarik dengan kehidupan pernikahan gue. Gue langsung mengambilkan tisu untuk Diana ketika dia tersedak setelah mendengar perkataan gue barusan. Reaksi yang wajar.

“What? Serius lo?” Gue hanya mengangguk mengiyakan.

“Kenapa Ra?”

“Kenapa gimana maksud lo?” Ada jeda sejenak ketika pesanan smoothies manggaku datang.

“Kenapa lo anggurin suami lo yang super ganteng itu? Gue mau Ra ngambil bekas lo.” Dia terkekeh. Dasar gadis edan, batinku.

“Ada banyak alasan, Di. Pertama, kita nikah bukan didasari rasa cinta, kita cuma dua orang asing yang kebetulan ketemu di pelaminan. Kedua, aneh banget rasanya hidup bareng ketika lo aja ga bener-bener tau siapa pasangan lo.” Diana menopang dagunya mendengarkan penjelasanku. Salah satu sifat yang gue suka dari dia, selalu mendengarkan sampai lawan bicara selesai tanpa pernah menyela perkataan.

“Trus ya, asal lo tau aja, kemaren sore sebelum lo ngajak gue ke sini, gue didatengin cewe di apartemennya Ivan, dan you know who? Mantannya! And guess what she doin there? Ngambil sepatu limited editionnya dia yang ketinggalan di rak sepatu apartemennya Ivan. Lo ngerti kan apa yang ada di otak gue setelah itu?” Gue menatapnya dalam, namun Diana hanya menggeleng. Gue mendengus kesal, kadang dia ini bisa pinter banget, tapi bisa juga lola berlebihan.

“Maksud gue, kalo sepatunya aja sampe ketinggalan di apartemennya, bisa jadi kan Ivan udah pernah bawa itu cewe masuk ke apartemennya, atau mungkin sampe tinggal bareng sama mantannya itu. Karena dari yang gue liat, tuh cewe kayak udah familiar sama apartemennya Ivan.” Entah kenapa suara gue jadi meninggi.

“Masa sih? Gue ga yakin sih kalo Ivan sampe kayak gitu. I mean, muka dia bukan muka-muka bad boy.” Gue sontak berdecak mendengar respon Diana.

“Don’t judge a book by its cover. Jangan lupa kalo dia pernah tinggal di Australia, Di. Bisa aja kan dia udah terbiasa hidup bebas di sana, dan kebiasaan itu kebawa sampe sekarang.” Sekarang dahi Diana menyernyit, memproses kata-kata gue barusan.

“Iya juga sih, Ra. Tapi lo juga jangan terlalu yakin sama hipotesis lo ini. Bisa aja salah kan? Kenapa ga lo tanyain aja langsung ke orangnya?” gue ga menjawab. Ada benarnya perkataan Diana barusan, tapi gue merasa ini terlalu private buat ditanyain ke Ivan, mengingat hubungan kita yang masih sangat dangkal ini.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang