THIRTY TWO

2K 145 25
                                    

Gue bangun dengan keadaan handphone yang bergetar terus menerus. Sebenarnya bukan cuma kali ini hape gue berbunyi, tapi gue sengaja abai dan tak mengangkatnya. Gue lebih memilih pergi ke dapur setelah subuh dan menyiapkan sarapan sederhana.

Semalem gue tiba disini dan langsung dihadang Diana dengan seribu pertanyaan ketika melihat gue membawa koper. Secara singkat, gue menceritakan apa yang terjadi selama sebulan ini dalam kehidupan rumah tangga gue yang seumur jagung, khususnya kejadian yang terjadi sebelum akhirnya gue memutuskan pergi ke rumahnya. Seharusnya Diana maklum mengingat dia juga mengetahui sama persis dengan gue, tapi tetap ada hal-hal mengejutkan yang baru buat dia.

Hari ini gue dan Diana ijin off dari kantor untuk melihat apartemennya, lebih tepatnya work from home. Pagi ini kita akan kerja dan meeting sebentar sampai jam makan siang sebelum nanti kita berdua siap-siap pergi. Gue bersyukur banget Diana rela gue repotin ini itu dan mau ikut jaga rahasia masalah gue dari siapapun.

"Ra, hape lo getar mulu tuh dari tadi. Apa ga sebaiknya lo angkat?" Diana datang dari arah kamar dan duduk melihatku mengoles selai di toast. Gue hanya menggeleng, ga ada niatan untuk menghentikan sarapan gue hanya demi sebuah panggilan.

"Nih, selai strawberry full tanpa kurang suatu apapun." Gue menyerahkan sepiring toast dengan selai yang barusan gue oles ke Diana. Raut sumringah langsung terpancar dari wajahnya begitu menghadapi piring roti. Kita makan dengan tenang, ditemani susu segelas dan biskuit cokelat setelahnya. Sesekali kita membahas hal-hal apa yang harus kita beli nanti, mengingat gue berencana langsung mengisi calon apartemen gue.

Setelah sarapan, gue mencoba menikmati pagi dengan duduk santai di teras. Hari ini sinar matahari belum terlalu terlihat, tapi udara sudah mulai menghangat. Tiba-tiba gue kepikiran meeting nanti yang dimana gue belum buka draft yang dikirim asisten gue tadi subuh. Dengan berat hati gue berjalan ke arah kamar untuk mengambil handphone.

Baru gue pegang handphone gue selama beberapa detik, sudah ada nama yang muncul di layar, menandakan masuknya panggilan telepon. Ivan. Gue mendengus, ga capek apa dia nelpon gue terus dari tadi? Entah berapa panggilan yang udah dia lakuin sejak sebelum subuh, yang pasti gue harus mengakui dia cukup gigih berusaha nelpon gue. Akhirnya gue memutuskan untuk mengangkatnya sekali ini.

"Halo?" Gue mengawali percakapan.

"Ra? Sayang, kamu ada dimana? Kamu tidur dimana?" Ivan jelas terdengar panik, tapi ada kelegaan dalam suaranya, mungkin karena gue akhirnya mengangkat telepon.

"Udah pulang kamu? Aku udah nyiapin kemeja kamu di tempat biasa ya, buat besok sama lusa juga udah. Nanti aku minta tolong mbak Nah deh buat nyeterikain sama nyiapin sisanya. Kalo sarapan aku udah nyiapin.."

"Ra, ga penting itu sekarang!" Gue berhenti mengoceh ketika Ivan memotong perkataanku di seberang telepon. Hening, gue tau kalo memang itu ga penting. Tapi justru itu, gue pengen kita membahas hal ga penting aja karena gue males bahas lainnya.

"Kamu dimana Ra?" Ivan mengulang pertanyaannya. Gue menghela nafas, rasanya gue ga pengen bilang ke dia tentang posisi gue saat ini.

"Kenapa?"

"Ya kamu ga ada di rumah. Baju-baju kamu banyak yang ga ada, koper kamu juga. Kamu kabur dari rumah kita, Ra."

"Aku ga kabur, aku pergi ke luar kota." Dengan terpaksa gue bohong, gue ga mau dia nyari gue saat ini, yang gue yakin bakal gampang banget untuk ditemuin kalau dia mengerahkan orang untuk cari gue.

"Kamu nyuruh aku percaya sama omongan kamu itu?" Nada suaranya semakin terdengar putus asa. Gue memejamkan mata, mencoba meyakinkan diri gue untuk ga terbawa suasana.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang