Tiga hari menikmati liburan "honeymoon" lumayan bikin badan gue beristirahat. Ya walaupun sebenernya gue ga ngapa-ngapain juga sih di apartemennya Ivan. Sebagian besar waktu luang yang gue punya gue habisin dengan nonton film dan bersosmed. Urusan makanpun, kita berdua sepakat delivery. Gue ngerasa kayak balik ke masa-masa kuliah dimana gue tiap hari deliv makanan.
Gue dan Ivan bener-bener sibuk di urusan masing-masing. Dia lebih milih ngurusin kerjaannya yang ditinggal karena nikah dengan pacaran sama laptop berjam-jam. Di tiga hari ini, hubungan kita seolah-olah balik ke awal, dimana kita ga saling kenal. Percakapan yang terjadi antara kita cuma sekedar basa-basi biasa seperti nanyain makan, setelah itu hening sampai salah satu dari kita pergi untuk memecah canggung.
Seperti pagi ini, kita berdua saling duduk diam menikmati bubur ayam yang dibeli Ivan ketika pulang jogging tadi. Sebenernya sarapan kita ini terbilang agak siang, mengingat gue baru bangun jam 9 sedang si Ivan ga ada niatan bangunin gue buat sarapan dan malah nunggu sebangun gue yang kebo ini. Gue sebenernya ga terlalu suka bubur ayam, karena bisa membangkitkan mual di perut gue, apalagi di pagi hari. Tapi berhubung ga ada makanan lain dan gue juga ga enak sama Ivan, gue diem aja sambil nelen tuh bubur tanpa benar-benar ngerasain.
"Aku lupa ngasih tau kamu kalo nanti sore aku berangkat ke luar kota." Ivan membuka percakapan denganku. Gue menatap matanya sekilas, bukannya dia juga cuti seminggu ya?
"Ngapain? Bukannya kamu cuti seminggu kayak aku ya?"
"Awalnya gitu. Tapi ternyata saya udah punya jadwal buat rapat sama perwakilan cabang, dan itu udah dijadwal jauh hari sebelum ada rencana nikah, jadi saya ga bisa cancel gitu aja." Ivan mengambil gelas dan meminum teh yang dibuatnya sendiri. Gue cuma ngangguk, bingung mau respon gimana.
"Kamu mau saya antar ke rumah orang tua saya atau bagaimana? Saya mau ngajak kamu, tapi saya ga bisa jamin bisa ngurusin kamu karena jadwal saya padat." Gue menggeleng cepat, gue udah ngebayangin bakalan pindah tempat tidur doang dan mendekam seharian di kamar hotel. Sedangkan gue juga kurang minat tidur di rumah mertua, walaupun pasti lebih keurus daripada di sini. Balik ke rumah mama pun males, bakalan dikira ada apa-apa padahal baru nikah.
"Aku disini aja lah. Males aku cuma pindah tidur doang. Lagian aku udah biasa sendiri." Gue berusaha meyakinkan Ivan dengan tatapan gue. Keningnya berkerut mendengar jawaban gue barusan, ada jeda sebelum ia menjawab
"Beneran gapapa?" Ia menanyaiku lagi, yang langsung gue balas dengan anggukan mantap
"Kamu berapa hari perginya? Naik apa kesananya?" Gue mencoba mengalihkan pembicaraan
"Mungkin tiga hari. Naik pesawat. Nanti ada orang kantor yang jemput aku kesini." Ivan menjelaskan sambil meneguk teh terakhirnya. Buburnya sudah habis, hanya menyisakan mangkok yang langsung ia bawa ke tempat cuci piring. Gue buru-buru menghabiskan bubur gue dan menyusul Ivan. Gue ambil spons yang ada di tangannya, ga enak gue yang dilayanin mulu, serasa numpang.
Sebelum Ivan protes, gue udah berkomentar untuk membungkam mulutnya. "Gapapa, gantian nyuci piringnya. Kemarin kan kamu udah."
Setelah selesai mencuci piring, gue masuk kamar karena gue mendengar suara berisik dari arah kloset baju. Ivan sedang packing, mengambil beberapa kemeja dan kaos paling atas lalu memasukkannya ke koper. Gue mencoba membantu dengan ngerapiin tatanan baju di kopernya, berhubung dia bawa koper kecil yang rawan kekurangan space.
Aktivitas selanjutnya adalah beberes rumah, mengingat Mbak Nah ga akan kesini selama seminggu ini, dilarang ganggu kata mertua, which means gue harus bersih-bersih rumah sendiri. Untung Ivan punya vacuum cleaner yang bikin pekerjaan gue agak mendingan. Selagi gue bersihin ruang tivi, gue juga nyambi muter pakaian kotor di mesin cuci. Sebenernya Ivan nawarin buat bantu, yang tentu saja langsung gue tolak. Dia ga ngelawan dan langsung pergi ke arah ruang kerjanya, mungkin memang masih ada kerjaan yang harus selesai sebelum pergi.
Mandi sebagai penutup kegiatan bersih-bersih rumah adalah sesuatu yang wajib buat gue. Selesai mandi, gue selonjoran di sofa depan tivi sambil mengganti channel, ga ngerti juga apa yang mau ditonton karena kebanyakan channel berisi berita siang. Mata gue berasa berat banget dan akhirnya gue merem di atas sofa.
🐄🐄🐄
Walaupun gue kalo tidur kayak kebo alias bisa berjam-jam, tapi gue gampang banget kebangun kalo ke-distract hal-hal kecil. Kayak sekarang ini, gue ngerasa ada tangan dingin yang nempel ke pipi gue, yang langsung bikin badan gue berjingkat kaget. Spontan gue buka mata dan pemandangan pertama yang gue lihat adalah sosok Ivan yang mukanya deket banget sama muka gue. Kepala gue refleks mundur, walaupin itu sia-sia karena gimana bisa mundur, kan kepala gue di sofa.
"Jam berapa sekarang?" Adalah pertanyaan pertama gue ke Ivan.
"Hampir setengah tiga" jawaban Ivan sukses bikin gue langsung bangkit dari sofa. Kepala gue keliyengan, efek darah yang tiba-tiba berpindah.
"Duduk dulu, jangan langsung berdiri." Ivan memegang lenganku. Setelah sepuluh detik, pandangan gue udah mulai normal dan gue langsung pergi ke kamar mandi, inget kalo gue belum sholat.
"Kamu berangkat jam berapa nanti?" Gue tanya ke Ivan yang sibuk dengan handphone nya di depan tivi setelah gue sholat. Ivan mengangkat kepalanya sebentar sebelum kembali ke layar hpnya.
"Jam tiga nanti kayaknya sopir udah jemput. Ayo cepetan makan, ini tadi aku beli pizza buat makan siang." Gue baru sadar udah ada sekotak pizza di atas meja sofa. Ivan mulai mengambil satu potong dan melahapnya. Gue duduk di sampingnya dan ikut memakan potongan yang lain. Kami makan dalam diam. Selalu.
Ivan mandi dengan cepat setelah makan siang dan berganti baju. Sekarang ia mengenakan kaos polo dan celana jeans, di tangan kirinya ia memakai jam rolex warna hitam. Rambutnya mengkilap, klimis. Gue terpana selama beberapa detik melihat tampilannya yang cukup macho ini, bukan cukup deng, emang macho banget. Jam dinding bergerak menunjukkan pukul tiga lebih lima, ketika Ivan ditelpon sopir yang sudah stand by di bawah. Gue nganter dia sampai ke dekat pintu keluar apartemennya, melihat dia memakai sepatunya.
"Saya pergi dulu ya. Kalo ada apa-apa telpon saya. Saya ninggalin kartu debit di meja rias kamu. Pake aja, itu buat kamu." Ivan menjelaskan ketika ia menghadap gue setelah memakai sepatu.
"Ga usah, aku ada uang kok." Gue menolak dengan halus
"Ra, itu nafkah kamu sebagai istri saya. Gapapa, terima aja." Gue sedikit bergidik ngeri mendengar kata nafkah. Gue cepet-cepet mengangguk untuk mempersingkat waktu. Ivan mengulurkan tangan kanannya ke hadapanku, sedetik gue melihat tangannya yang akhirnya gue paham maksudnya, gue ambil tangannya dan menciumnya.
"Hati-hati." Hanya itu yang bisa gue ucapkan. Ivan mengangguk dan tanpa aba-aba, ia memelukku. Kepalanya ia tenggelamkan di leherku, ia menghidu dalam-dalam aroma tubuh ini yang entah bagaimana baunya. Tangannya lembut mengelus punggungku. And I, with empty mind, hug him back.
KAMU SEDANG MEMBACA
(UN)MONOTONOUS MARRIAGE
RomantizmRara, gadis yang bisa dibilang sukses di usia muda tapi tidak memiliki planning hidup ke depan bertemu dengan Ivan yang menurutnya hanya seorang om-om kaya di acara makan malam investor ayahnya. Mereka kemudian menikah dan menjalani pernikahan yang...