Gue mengangkat telepon yang berdering.
"Ya?"
"Aku di depan, tolong bukain pagar dong." Suara Ivan terdengar pelan. Tanpa menjawab gue langsung menutup sambungan dan berjalan keluar rumah. Disana ada Ivan yang berdiri menunggu gerbang dibuka, membawa satu tas kecil dengan masih berpakaian rapi ala kantoran.
"Kamu naik apa kesini?" Gue membuka gerbangnya, membiarkan Ivan masuk dan menguncinya kembali.
"Taksi online."
"Dari bandara?" Gue melihatnya, mukanya tampak lelah dan sedikit kusut.
"Aku tadi naik kereta bandara, baru lanjut pake taksi online."
"Oh." Gue hanya mengangguk lalu melangkah melewati Ivan yang sepertinya menunggu gue masuk ke dalam rumah.
"Arcel udah tidur?" Ivan menanyakan kabar Arcel ketika kita berada di ruang tivi.
"Udah, badannya masih agak anget, kemaren sore habis vaksin jadi seharian ini agak rewel."
Hening sebentar, sebelum gue dengan cepat mengalihkan percakapan.
"Kamu mandi aja, aku ke dapur buatin teh dulu." Gue pergi meninggalkan Ivan yang bergegas menuju ke kamar mandi.
Tiga bulan setelah Ivan pertama kali datang ke Jogja nemuin gue dan Arcel, kita akhirnya punya kesepakatan. Gue memperbolehkan Ivan datang setiap akhir pekan dan nginep di rumah sampai Minggu atau Senin pagi. Gue ga peduli seberapa capek dia, tapi gue tetap sama pendirian gue yang ga mau kemana-mana, gue maunya dia yang datang kesini, bukan gue yang harus pergi. Dan selama ini Ivan juga ga pernah protes atau minta hal-hal aneh.
Hampir setiap minggu dia dateng, selalu ambil penerbangan sore dan sampai di rumah gue malam. Dia ga komplain ketika gue hanya memberikan dia sofa di ruang tengah sebagai tempat tidur, walaupun akhirnya hal ini juga yang menjadikan gue melatih Arcel tidur sendiri di kamar, biar kalau Ivan datang, dia bisa gantian tidur bareng Arcel di kamar sebelah.
Ivan ga pernah lagi memohon agar gue pindah dan balik ke apartemennya. Dia bilang kalau dia sekarang berusaha mengikuti kemauan gue, mengedepankan keinginan dan kenyamanan gue, yang berarti dia rela bolak-balik demi ketemu Arcel setiap minggunya.
Suara deheman dari belakang membuat gue menengok. Ivan terlihat lebih segar dengan kaos biru yang sengaja dia tinggal disini. Teh yang baru selesai gue aduk gue taruh di meja makan tempat ia duduk sekarang.
"Makasih, Ra." Ia memegang cangkir teh yang masih mengepulkan asap. Gue membersihkan perabotan dan menarik kursi di sampingnya, menemaninya duduk sebentar.
"Tumben agak cepet datengnya, biasanya malem banget sampe sini."
"Iya, aku tadi selesai ngantor habis istirahat makan siang, trus langsung ke bandara. Makanya agak cepet nyampenya."
"Oh, baguslah." Hening setelahnya.
"Kamu kalo capek langsung tidur aja." Gue menawarkan agar Ivan langsung pergi ke kamar, tapi ia menggeleng.
"Engga, aku biasa aja, ga capek sama sekali. Aku udah seneng kok kayak gini." Ivan mengangkat cangkir dan merasakan tehnya perlahan.
"Gimana kabar?" Ivan bertanya.
"Arcel dari semalem agak demam, ga mau dipegang selain mamanya, jadi semaleman harus digendong dan dipuk-puk terus. Hari ini juga tapi barusan ini udah mulai enakan dia kayaknya, udah ga rewel."
"Maksud aku kabarmu, Ra. Kamu gimana kabarnya?" Gue sedikit terkejut mendengarnya, ga menyangka.
"Oh, baik. Alhamdulillah. Aku kira kamu nanyain Arcel."

KAMU SEDANG MEMBACA
(UN)MONOTONOUS MARRIAGE
RomanceRara, gadis yang bisa dibilang sukses di usia muda tapi tidak memiliki planning hidup ke depan bertemu dengan Ivan yang menurutnya hanya seorang om-om kaya di acara makan malam investor ayahnya. Mereka kemudian menikah dan menjalani pernikahan yang...