Gue bangun kesiangan dengan rasa remuk di sekujur tubuh. Semalam jantung gue ga bisa bekerja normal setelah ciuman -atau lebih tepatnya penerkaman- yang dilakukan Ivan sebagai hadiah ulang tahunnya. Dia sendiri memang tidak melakukan hal lain selain itu, dan langsung tidur memelukku setelahnya. Sedangkan gue? Gue hanya berbaring di ranjang tanpa melakukan apa-apa. Mungkin efek kopi juga yang kemarin sore gue minum, gue baru bisa tidur sekitar pukul dua.
Ketika gue beranjak dari ranjang, Ivan sudah tidak ada di kamar. Gue berjalan keluar, mencoba menemukan sosoknya. Jam di handphone gue menunjukkan pukul enam empat puluh, yang berarti seharusnya Ivan masih di rumah.
"Udah bangun?" Adalah pertanyaan pertama yang dilontarkannya ketika gue menemukannya di meja makan, sedang mengoleskan selai ke roti tawar. Gue mendekatinya dan duduk di kursi di depannya.
"Udah. Kenapa ga bangunin aku?" Gue mengucek mata.
"Kan tadi subuh udah aku bangunin. Salah sendiri habis sholat tidur lagi." Gue membuang muka, tidak ingin memulai perdebatan dengannya di pagi hari. Mungkin dia ga tahu betapa nikmatnya tidur habis subuh, gue mencoba berpositive thinking.
Gue lantas membuka kulkas dan mengambil sebuah alpukat yang sudah dipotong kecil oleh mbak Nah. Semalam gue sengaja menyuruhnya karena gue berniat sarapan dengan itu. Setelah meneguk segelas air putih, gue mulai menyendokinya satu-satu. Tidak ada percakapan yang terjadi di antara kita, seperti biasa.
"Kamu masuk kerja jam berapa hari ini?" Akhirnya Ivan membuka pembicaraan ketika gue sudah hampir selesai makan. Gue menggeleng.
"Ga tahu nanti, mungkin agak siangan. Habis lembur kemarin jadi ada kelonggaran dikit." Bohong sebenarnya, mana ada kelonggaran karena lembur. Tapi memang gue berniat datang telat ke kantor hari ini, mengingat badan gue yang sudah tidak karuan rasanya, ditambah pusing yang sekarang semakin kuat bertengger di kepalaku.
"Mau aku tungguin biar bareng berangkatnya? Kan mobil kamu di kantor." Oh iya, gue hampir lupa dengan kenyataan bahwa gue ga ada mobil sekarang.
"Ga usah, aku nanti gampang lah, bisa pake taksi online kan banyak. Kamu duluan aja."
Ivan menghabiskan kopinya dan beranjak menuju sink untuk mencuci peralatan makannya. Gue yang juga sudah selesai akhirnya hanya berdiri di sampingnya, menunggunya selesai dan bergantian denganku mencuci piring.
Tangannya terulur, meminta peralatanku untuk dicuci. Gue yang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan kali ini langsung menaruhnya di bawah keran. Gue bergumam kecil mengucapkan "thank you" sebelum pergi meninggalkannya ke ruang tivi. Mungkin hanya sekitar lima menit sebelum gue mendengar Ivan berteriak.
"Ra, aku pergi dulu ya." Ivan berpamitan sambil membawa kunci mobilnya. Walaupun rasanya berat, gue tetap beranjak dan mengantarnya sampai di depan pintu keluar, memperhatikannya ketika memakai sepatu.
"Can I hug you?" Ia membuka kedua lengannya.
"Kayak kamu mau berhenti aja kalo aku bilang ga boleh." Gue menjawabinya sembari melangkah mendekat ke arahnya. Ia terkekeh pelan sambil memelukku cepat.
"Badan kamu anget Ra, ga enak badan?" Keningnya berkerut. Gue menggeleng kecil.
"Baru bangun tidur, kurang minum paling. Udah sana berangkat." Gue mengibaskan tangan, menyuruhnya pergi.
Sepeninggal Ivan, gue langsung mandi dan bersiap-siap untuk ke kantor. Gue akhirnya dapat taksi online pukul setengah sembilan lebih, setelah gue memutuskan berbaring sebentar karena kepala gue berat banget.
Gue ga memedulikan Diana yang menatap gue penuh pertanyaan karena datang telat. Gue hanya menyapanya dengan lambaian tangan dan langsung duduk di kursiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
(UN)MONOTONOUS MARRIAGE
RomansaRara, gadis yang bisa dibilang sukses di usia muda tapi tidak memiliki planning hidup ke depan bertemu dengan Ivan yang menurutnya hanya seorang om-om kaya di acara makan malam investor ayahnya. Mereka kemudian menikah dan menjalani pernikahan yang...