Empat hari terakhir ini gue kerja lembur karena mempersiapkan pembukaan kantor cabang di Bandung. Setiap harinya gue baru akan pulang setelah jam delapan, dan biasanya sampe di apartemen jam sembilan. Kalau biasanya Ivan yang gue sambut ketika makan malam, sekarang berbalik gue yang disambut Ivan.
Pukul setengah lima sore kantor mulai terlihat sepi, banyak pegawai dari divisi lain sudah siap meninggalkan meja mereka menuju lift. Gue yang sedang membuat kopi hanya bisa melihat dengan tatapan iri.
"Oi, bengong aja Buk." Tiba-tiba Diana muncul membawa sebuah mug di tangannya. Gue menoleh pelan, pasti dia juga mau menyiapkan amunisi untuk lembur malam ini.
"Iya nih, lagi kangen." Jawab gue singkat. Diana mengernyit.
"Kangen apa?"
"Kangen pulang sore." Diana mendengus kesal mendengarnya. Gue hanya tersenyum kecut melihat reaksinya. Cangkir kopi gue yang sekarang sudah penuh gue ambil.
Diana berteriak ketika gue meninggalkannya menuju mejaku. "Ra, jangan lupa dua puluh menit lagi rapat di ruang C."
Mana mungkin gue lupa rapat penting hari ini? Justru itu adalah alasan utama gue menyeduh kopi di sore hari menjelang malam ini. Kalau bukan itu, gue ga akan rela minum ramuan yang bisa bikin gue terjaga sepanjang malam. Dan lagi, rapat hari ini penting bagi perkembangluasan perusahaan. Kalau berhasil memukau calon partner perusahaan, gue yakin pundi-pundi uang Diana makin menumpuk.
Dering handphone gue membuyarkan pemikiranku yang berlarian kemana-mana. Di layar tertulis nama Ivan dengan jelas. Tumben, batinku.
"Halo?"
"Halo, Ra. Lagi dimana?"
"Masih di kantor. Kenapa?" Gue menyeruput kopi yang masih berasap.
"Lembur lagi malam ini?"
Gue hanya menjawab "hmm". Seingatku, beberapa hari yang lalu gue udah pernah bilang ke Ivan kalo gue ada project di kantor dan akan telat pulang.
Hening, gue melihat layar handphone untuk memastikan percakapan ini madih berlanjut. Tidak ada masalah dengan jaringan.
"Kenapa emangnya?" Gue mencoba memecah keheningan.
"Aku mau ngajak kamu makan di luar kalo kamu pulangnya ga malem banget. Kira-kira kamu selesai kerja jam berapa?"
"Belum tahu sih, tapi mungkin sekitar jam 7. Mau makan dimana emang? Kalo ga, aku nyusul ke tempat makannya gimana?" Gue mencoba memberi pilihan ke Ivan. Sejujurnya gue juga mulai bosan dengan rutinitas memilih makanan di aplikasi online.
"Aku jemput kamu aja nanti. Aku mungkin pulang jam 6, nanti aku langsung ke kantor kamu aja."
"Tapi Van, aku kan bawa mobil. Kalo kamu jemput aku, gimana mobilku?"
"Ditinggal di kantor aja gak apa-apa."
Mejaku diketuk seseorang, Diana. Dia mengisyaratkan agar gue beranjak ke tempat rapat. Gue mengangguk dan memberi tanda oke.
"Oke, aku mau rapat dulu ya. Nanti kalau udah selesai rapat aku kabari. Bye." Gue langsung menutup panggilan tanpa mendengar jawaban Ivan. Ipad dan beberapa lembar kertas langsung gue tumpuk seraya berjalan meninggalkan meja.
Sepanjang rapat gue fokus ke ipad dan layar besar di depan dimana tim pemasaran sedang mempresentasikan keunggulan produk perusahaan kami. Gue ga banyak berkomentar karena ini lebih menjadi urusan bagian pemasaran.
Untungnya perusahaan calon partner kali ini tidak banyak permintaan aneh-aneh sehingga kerja sama dipastikan akan berjalan lancar. Gue meninggalkan ruang rapat pukul enam lebih sepuluh. Setelah ini gue bisa langsung pulang karena sudah tidak ada lagi tumpukan file yang harus diselesaikan. Gue menyempatkan diri mengirim pesan ke Ivan mengabarkan kalau aku sudah selesai.
Sembari menunggu Ivan membalas chatku, gue sholat maghrib dan menghabiskan kopi yang lupa gue bawa ke tempat rapat. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kantor gue dan membukanya. Gue berdiri menyambut orang yang sekarang berjalan ke arah mejaku.
"Ya?" Gue mencoba menanyakan maksud kedatangannya.
"Halo, Ibu Aura. Perkenalkan saya Nino, bagian pemasaran dari perusahaan yang tadi rapat bersama Ibu." Orang ini mengulurkan tangannya, gue yang baru menyadari siapa dia langsung menjabatnya.
"Iya, bagaimana ya Bapak Nino? Ada yang bisa saya bantu?" Orang di depan gue ini malah tersenyum.
"Saya kesini bukan sebagai utusan kantor, saya kesini sebagai Nino, teman suami anda." Otak gue yang sudah agak lola ini butuh waktu yang lumayan lama untuk memproses perkataan Nino barusan. Baru setelah gue menyadari apa maksudnya, gue membuka mulut terkaget-kaget.
"Oh, temennya Ivan. Maaf aku belum hafal temen-temennya." Gue memberikan gestur dengan tangan, mempersilakan duduk.
"Santai saja, Ra. Saya memang baru sempat ketemu kamu sekarang. Saya waktu itu belum bisa datang ke nikahan kalian, dan saya kaget ketika saya ditugaskan rapat kesini, jadi saya sekalian mau mampir ngucapin selamat."
"Oh, pantesan aku ga ngerasa kenal. Terima kasih ucapannya. Mau aku telponin Ivan? Dia mungkin lagi di jalan menuju kesini."
"Oh, ga usah. Saya harus pergi lagi soalnya. Ini saya cuma nyempetin mampir sebentar. Sekali lagi selamat ya. He's lucky to have you." Nino beranjak dari kursi dan langsung menyalamiku. Gue ikut berjalan di belakangnya, mengantar kepergiannya sampai pintu. Di saat bersamaan, bunyi nada dering handphone membuatku berlari kecil mengambilnya. Seperti yang sudah kuduga, itu dari Ivan.
"Halo."
"Aku udah di depan pintu lobby." Mendengar itu, gue langsung mengemasi barang dan mengambil tas meninggalkan ruangan.
"Oke, aku turun. Bye." Gue memencet tombol panah kebawah di depan lift. Suasana sudah lengang, hanya ada beberapa anak masih berkutat di depan komputer mereka. Tak lama setelahnya, pintu lift terbuka.
Ketika gue keluar dari lift di lantai lobby, pandangan gue langsung mencari sosok yang beberapa menit lalu menelponku. Bukan Ivan yang tertangkap di kedua mataku, tapi Nino yang sedang berbicara dengan seseorang yang memunggungiku, gue yakin dia Ivan, terlihat dari perawakannya. Mereka terlihat serius, jadi gue berjalan ke arah mereka pelan-pelan, takut mengganggu.
Gue bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan oleh Nino sekarang, mengingat jarak antara mereka dan gue mulai cukup dekat.
"Udah lah Van, lo jangan mikirin dia lagi, dia hidup di belahan bumi yang lain sekarang, dan posisi lo udah punya istri. Lupain Indira." Nino berkata dengan nada agak tidak sabar. Gue ingin mendengarkan lagi percakapan mereka tentang Indira ini, tapi Nino tampaknya sudah melihat gue, karena raut mukanya menunjukkan kekagetan. Gue akhirnya mendekat dan mencoba tersenyum.
"Hai. Ngomongin apa?" Gue berbasa-basi. Ivan menengok ke arahku, raut ekspresinya seperti menyiratkan kesedihan.
"Hai, Aura. Engga, ini kita lagi nostalgia aja. Oh iya, saya buru-buru, jadi saya pamit dulu ya. Yok Van." Nino menepuk pundak Ivan yang dibalas dengan lambaian tangan dan mulai berjalan menjauhi kita. Gue melirik Ivan cepat, raut mukanya telah kembali normal.
"Mau makan apa?" Ivan membuka obrolan. Harusnya gue yang tanya itu, karena lo yang ngajak makan, gimana sih.
"Terserah, kamu mau makan apa?" Gue balik bertanya. Ivan diam berpikir.
"Anything."
"Aku mau cheese burgernya McD sama ice creamnya. Gimana kalo kita drive through aja?" Akhirnya gue yang menentukan.
"Boleh. Deket sini ada McD kan? Disitu aja gimana?" Gue mengangguk menatap Ivan.
"Mobil kamu dimana? Yuk." Aku menanyakan hal itu walaupun sudah jelas mobil Ivan terpampang di parkiran depan lobby. Gue berjalan mendahului Ivan menuju mobil. Dengan cepat kita meninggalkan parkiran gedung dan beranjak menuju McD.
"Indira siapa kalo boleh tahu?" Aku membuka pertanyaan yang sedari tadi ada di otakku. Ivan diam, seolah tudak mendengar apa yang barusan gue katakan.
"Van?"
"Kamu istirahat aja Ra, ini agak macet dan kayaknya antri. Nanti aku bangunin kalo udah deket." Jelas-jelas ia mengalihkan pembicaraan. Gue jadi semakin kepo dengan satu nama ini, tapi gue akhirnya memutuskan untuk memendam kekepoan itu untuk diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
(UN)MONOTONOUS MARRIAGE
RomanceRara, gadis yang bisa dibilang sukses di usia muda tapi tidak memiliki planning hidup ke depan bertemu dengan Ivan yang menurutnya hanya seorang om-om kaya di acara makan malam investor ayahnya. Mereka kemudian menikah dan menjalani pernikahan yang...