TWENTY FIVE

2.1K 108 2
                                    

Setelah suasana sarapan yang berubah menjadi seperti cold war, gue bersiap untuk belanja baju di beberapa butik yang udah gue cari sebelumnya. Sebenarnya gue awalnya berniat mengajak Ivan, sekalian jalan-jalan mumpung ini hari Minggu. Tapi niat itu berubah setelah gue membaca pesan singkat dari Indira. Gue sebenernya agak ga ngerti antara gue yang emang bego atau Indira yang kelewat polos sampai-sampai dia berani ngirim cake dan ngajakin ketemuan suami orang, I mean Ivan. Gue memejamkan mata dan mengatur nafas agar emosi gue ga menjadi-jadi. Ngapain lo harus marah Ra? Toh lo sama Ivan nikah juga bukan karena cinta.

Ivan sepertinya mulai menyadari gue akan pergi ketika dia melihatku keluar dari kamar mandi dengan baju yang berbeda. Gue memang berganti memakai kaos abu pas body dan celana kain sebetis. Ketika gue memasukkan dompet ke sling bag, Ivan bangkit dari tempatnya, datang dari arah belakang dan memegang punggungku. Gue menoleh.

"Kamu mau kemana Ra?"

Gue memasukkan handphone dan dompet kartu berwarna biru laut. Setelahnya gue mendongak. "Aku mau keluar sebentar, mau beli baju tidur."

"Hah? Kok ga ngomong dari tadi? Bentar aku siap-siap dulu." Gue memegang lengan Ivan yang sudah akan beranjak menuju koper. Gue mengangkat alis menatapnya.

"Ga usah Van, aku bisa sendiri." Ivan mengernyit tak setuju. Jelas ia menolak gagasanku barusan.

"Tapi Ra, kamu kan ga tahu jalan. Bahaya."

"Gapapa, ada google maps, jangan kayak hidup di jaman penjajahan gitu dong Van." Gue melontarkan candaan agar ia lebih tenang, nyatanya raut mukanya tidak berubah.

"Aku ga akan nemuin Indira, Ra. Aku bakal nemenin kamu belanja sekarang." Ia melepas tanganku dan melangkah ke kopernya. Gue menyusulnya setengah berlari untuk mendahului langkahnya yang besar.

"Van, ga usah. Jangan gitu, Indira pasti udah nunggu, kasian dia." Gue ga tau pikiran dari mana sehingga melontarkan alasan itu. Gue sekarang merasa mirip Aisyah di film ayat-ayat cinta yang gue tonton dulu waktu SD.

Ivan terdiam di hadapanku, seakan tak percaya dengan apa yang barusan gue katakan. Jangankan dia, gue sendiri pun sebenarnya ragu atas kalimat gue. Ia menghirup nafas dalam setelah beberapa saat.

"Ya udah, aku anterin kamu aja."

"Ih Van, aku udah pesen taksi online. Udah deket dari hotel, jadi kamu ga perlu repot-repot nganterin aku. Udah sekarang mending ayo kita ke lobby. Aku nunggu taksiku, kamu ketemu Indira. Ayok, udah jam sembilan."

Gue sempat melihat Ivan mengusap kepalanya dengan frustasi sebelum ia menyusulku ke arah pintu. Di jalan menuju lift, Ivan mencoba menggandengku dengan memegang ujung lenganku. Gue ga membalas gandengannya, gue sedang sibuk bertanya dalam hati apa Ivan seenggaknya cerita ke cewek itu tentang gue? I mean, kemarin gue ngerasa itu waktu yang cukup lama buat sekedar basa-basi. Gue rasa cukup untuk bilang "eh iya, aku di sini sama istri aku", atau "aku kebetulan lagi honeymoon" biar si cewek itu ngerti. Tapi semua itu balik lagi ke Ivan, dia bilang itu atau sekedar diem-dieman kayak patung gapura kompleks perumahan.

Lift kosong ketika terbuka, jadi hanya ada kita berdua yang menaiki. Sebelum gue maju memencet tombol lantai tujuan, Ivan sudah bergerak maju selangkah untuk meraih tombol-tombol tersebut.

Pergerakan Ivan sangat cepat, gue terlalu lola untuk memproses bahwa Ivan tiba-tiba memelukku dalam posisi seperti ini. Pelukan cepat yang disertai ciuman di bahu itu hanya bertahan beberapa detik. Gue terlampau kaget untuk menolaknya, mengingat ini bukan tempat aman.

"Kamu jangan mesum di tempat umum ya Van. Malu-maluin aku aja." Gue berbisik cepat. Ivan tertawa seperti tersedak dan menutupi mulutnya.

"Jadi kalau di tempat private boleh?" Gue berdecak mendengarnya, selalu mencari celah di antara kata-kata yang gue lontarkan.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang