NINE

2.6K 138 1
                                        

“Ivan?” Gue ga percaya dengan apa yang gue lihat sekarang. Ivan, di depan mata gue, pake kaos yang sama persis seperti terakhir kali gue lihat dia hari ini. Jantung gue entah kenapa terasa bekerja lebih cepat dari biasanya. Di samping gue, Diana menyentuh lengan gue, sama kagetnya. Orang yang barusan gue panggil namanya melangkah mendekati kami berdua. Entah ini efek auranya atau suhu hotel ini, tapi bulu kuduk gue meremang, ngeri.

“Kamu ngapain ke Bandung? Bukannya tadi ga pengen ikut?” suaranya dalam, pelan. Gue hanya berani menatapnya sekilas sebelum mata gue mengarah ke bawah. Gue takut menatap Ivan yang terlihat jelas dari raut wajahnya bahwa ia sedang menahan amarah.

“Gue.. Aku.. Aku diajak nemenin Diana meeting klien di Bandung.” Gue mencoba menata pikiran agar bisa tenang. Ivan masih menatapku tak henti.

“Lo.. Kamu katanya keluar kota, kok malah disini?” suara gue bergetar, haish.

“Bandung kan luar kota.” Ivan akhirnya menjawab, dengan suara yang cukup tenang.

“Oh, oke.” Cuma itu jawaban yang bisa keluar dari mulut gue. Please, gue benci ketegangan seperti ini.
“Ya udah kalo gitu aku masuk kamar dulu.” Gue memberanikan diri pamit ke Ivan, yang hanya dibalas dengan kerutan di keningnya.

“Ra.” Tangan gue dipegang Diana. Ia menatapku frustasi.

“Lo mending tidur sama suami lo deh. Mumpung udah sampe sini kan. Masa lo mau tidur pisah kamar sama suami lo.” Bagus, Di. Bagus banget ya saran anak satu ini. Bukannya tidur bareng, yang ada gue malem ini diinterogasi habis-habisan sama Ivan. Ya ampun, kenapa sih Diana ini kelewat jenius sampe ga kepikiran hal-hal kecil itu?

“Ga usah Di. Gue tidur sama lo aja. Ivan sekamar sama temennya.” Sotoy banget gue. Bodo amat lah, yang penting gue sebisa mungkin ga sekamar sama Ivan.

“Saya sendirian.” Ujar Ivan singkat. Tamat riwayat gue. Tengsin rasanya ketahuan bohong di depan Ivan. Gue akhirnya nengok ke arah Ivan yang masih melihat gue. Seandainya kita adalah pasangan yang saling cinta, gue jamin gue bakalan klepek-klepek dilihatin terus sama dia. Tapi ini beda cerita, gue malah takut dilihatin tanpa kedip sama dia.

“Nah pas kan. Udah sana pergi ke kamarnya Ivan. Katanya tadi capek. Besok ketemu pas sarapan ya.” Tanpa basa-basi, Diana mengambil gagang koperku dan menyerahkannya kepada Ivan. Gue mencoba melangkah mengikuti Diana masuk ke kamar, masa bodoh koper gue di tangan Ivan, gapapa. Gue bisa tidur pake baju Diana dan pake skincare dia. Namun sebelum hal itu terjadi, tangan kekar Ivan sudah menarik lengan kananku menuju kamarnya.
🐄🐄🐄

Dan disinilah gue, pojokan kamar Ivan yang ternyata hanya berjarak tiga kamar dari kamar Diana. Lima menit setelah kita berdua masuk kamar, gue tetep ga berani membuka pembicaraan, sedangkan Ivan masih duduk di pinggir ranjang, sibuk mengetik sesuatu di handphone nya. Kaki gue udah pegel dengan segala perjalanan malam ini, ditambah sekarang gue serasa dihukum oleh Ivan, menambah nyeri betis gue.

“Aku emang ga ada niatan ke Bandung. Tadi setelah kamu pergi, Diana baru ngajakin aku. Dan aku ga tega nolak karena dia udah beliin aku tiket, booking hotel juga.” Gue menggigit bibir bawah, menunggu reaksi Ivan setelah mendengar penjelasanku. Tapi orang yang ada di depan gue ini hanya mengangkat kepalanya menghadapku sebentar, dan kembali lagi ke arah layar handphone nya. Sial.

“Kamu dengerin aku ga sih?” gue melayangkan protes setelah hanya mendapatkan keheningan sebagai tanggapan.

“Iya, denger. Aku lagi ngabarin asistenku kalo istriku nyusul. Biar bisa ngatur jadwalku selama disini. Seenggaknya biar dibikin ga terlalu full seharian.” Suaranya setenang air. Ivan meletakkan handphone nya di atas meja kecil di samping tempat tidur berukuran king itu. Gue sedikit terperanjak dengan kata-katanya barusan, agak ga menyangka dia mengubah jadwalnya karena gue.

“Trus kenapa ga minta izin aku? Nelpon atau at least chat.” Sekarang tatapannya berganti dengan tatapan lembut ke arahku, yang langsung bikin gue salah tingkah.

“Eh, itu, aku lupa.” Gue akhirnya jujur, males mencari alasan lagi. Ingin ini cepat selesai.

“Lain kali kalo mau pergi, jangan sampe lupa izin. Kamu sekarang istri aku, tanggung jawabku.” Gue melirik Ivan sekilas, yang ternyata juga masih menatapku. Gue ga biasa diginiin, Bang. Melting gue sama kata-katamu.

“Iya., maaf.” Ucapku pelan.

“Ya udah, sekarang kamu bersihin diri aja. Kamu udah makan?” Ivan berdiri menghadapku. Gue mengangguk pelan, emang gue udah makan nasi goreng tadi di kereta.

“Tadi ada mantan kamu ngambil sepatunya di apartemen. Katanya titip salam buat kamu.” Tiba-tiba aja gue inget sama kejadian tadi sore. Raut muka Ivan agak sedikit berubah kaget.

“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Oh doang? Waras ga sih ini orang?

“Aku mau ngerjain sesuatu bentar. Kalo mau tidur duluan, tidur aja.” Sekarang Ivan sudah beranjak menuju meja di dekat televisi kamar. Disitu sudah ada laptop yang sudah dihidupkannya. Untung ga ada drama malam ini, mungkin efek kita berdua yang udah capek dan ga pengen memperpanjang masalah.

Gue menghabiskan lima belas menit mandi dan membersihkan diri sebelum berangkat tidur. Sialnya, gue cuma bawa baju santai berupa celana pendek sepaha dan tank top. Gue ngira bakalan tidur sama Diana, makanya gue berani bawa pakaian terbuka buat tidur. Siapa pula yang bakal tahu kalau akhirnya gue tidur sama Ivan di Bandung ini. Ada sebagian diri gue yang masih agak ga rela kalo Ivan melihat lekuk tubuh indah gue ini. Tapi mau gimana lagi, mau pinjem baju Diana juga udah ga mungkin lagi. Dengan mengumpulkan keberanian, gue akhirnya keluar dari kamar mandi dengan melilitkan handuk di pinggang.

Ivan sudah berada di atas ranjang sebelah kiri ketika gue keluar kamar mandi. Ia tetap sibuk dengan laptop yang dipangkunya tanpa menoleh. Bagus malah, jangan sampe noleh kalo bisa. Gue buru-buru ambil mukena dan sholat isya’. Setelah itu, gue melakukan beberapa skincare routine sebelum tidur. Karena merasa Ivan ga bakal nengok ke arah gue, gue inisiatif membuka lilitan handuk dan menaruhnya di hanger.

“Tumben pake celana pendek.” Ivan berkomentar sambil menutup laptopnya. Gue mangap tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ini namanya gue nyodorin daging seger ke arah macan, alias lo pinter banget sih Ra malah buka-bukaan sendiri depan Ivan.

Gue mencoba tetap stay cool seolah-olah ga terjadi apapun. “Iya, lagi pengen pake ini.” Gue buru-buru naik ke ranjang dan menutupi badan gue sampe dada pake selimut. Suara berisik di sebelah gue menandakan bahwa Ivan juga sudah mengubah posisinya untuk bersiap tidur. Ga pengen menciptakan kecanggungan, gue memilih miring memunggungi Ivan yang juga miring ke arahku.
Ada tangan menyusup hangat ke atas perutku. Gue menahan nafas, takut dengan hal yang akan terjadi selanjutnya.

“Van..” Gue mencoba memperingatkannya, yang malah membuat kepalanya menyusup ke leherku.

“Aku suka wangi shampoo kamu.” Suara pelan Ivan sukses membuat bulu kuduk gue meremang.

“Nanti aku kasih shampooku buat kamu.” Gue masih mencoba stay cool. Dia tertawa pelan.

“Let’s cuddle like this.” Gue hanya diam tidak kuasa menolak kata-kata Ivan barusan. Kinerja jantung gue seakan dipaksa kerja double malam ini. Tidak butuh waktu lama, gue mendengar dengkuran halus Ivan di leher gue. Sial, harusnya dia tanggung jawab bikin gue jantungan, bukannya malah pergi duluan berkelana ke alam mimpi.

(UN)MONOTONOUS MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang