Jakarta, rasanya sudah lama sekali Airi tidak melihat ibu kota ini. Kepulangan kali ini adalah hal pertamanya bersama dengan kedua anaknya. Sengaja dia mengambil jadwal penerbangan di pagi hari untuk menghindari mereka rewel dan mengganggu penumpang lainnya. Dan meskipun tangisan tetap tak bisa dihindari, namun setidaknya si kembar masih dapat dikendalikan.
Airi mengusap kepala kedua anaknya secara bergantian sambil berkata, "Yoku ganbatta ne minna. Arigatou ne!" (Terima kasih untuk telah berjuang sabar dalam perjalanan).
Setelah mengkondisikan anaknya, Airi merapikan dirinya. Kepalanya dipenuhi pikiran tentang apa yang dia harus lakukan ketika bertemu dengan Sultan dan keluarganya. Jauh di lubuk hatinya, dia tidak siap. Namun dia harus menyelesaikan sesegera mungkin sebelum berita tentang mereka terangkat oleh media dan mempengaruhi banyak orang.
Di satu sisi, ada rasa bahagia yang dengan sesukanya menyeruak pelan. Mungkin karena rasa suka yang dulu sempat ada kembali hadir memenuhi kenangan. Mungkin juga karena sepanjang perjalanan, Airi mengingat semua hal semenjak pertemuan pertamanya dengan Sultan di Jembatan Slamet Riyadi kala itu. Hingga tanpa sadar bertutur kata menceritakannya pada kedua anaknya. Airi sempat begitu bahagianya.
Dua jam menunggu, namun tak ada satu orang pun yang mendatangi Airi. Airi mulai gelisah. Sedangkan dia tidak bisa menggunakan telepon genggamnya, sedangkan laptopnya berada di koper besar yang sudah dibungkus plastik. Begitu pun dengna Ayato yang mempunyai sifat sangat aktif dan tidak bisa diam. Ayato sudah mulai gelisah dan menangis. Untung saja Ayuma tertidur pulas, sehingga Airi bisa mendiamkan Ayato meski dengan sedikit kesusahan.
Hampir tiga jam menunggu dan Airi sudah hampir menyerah. "Haruskah aku memesan hotel dulu?" Pikirnya putus asa. Sedangkan keluarga Sultan menjanjikan untuk menjemputnya. "Atau mereka salah tempat?", pikirnya kembali yang membuatnya bolak balik bertanya kepada petugas.
Hingga waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam, sebuah wajah yang dikenalnya baik menghampirinya.
"Mbak Airi, maaf mbak udah lama banget nunggunya ya?"
"Mas Bobby, eh lumayan sih, empat setengah jam." Kata Airi sambil nyengir.
"Maaf ya mbak, macet tadi."
"Iya mas nggak apa-apa."
Airi heran mengapa yang datang malah Bobby. Namun keheranannya segera ditepis mengingat ini adalah bandara dan tentu saja Sultan atau keluarganya tidak akan datang langsung menjemputnya. Jika begitu, justru akan memicu media.
Bobby membantu Airi menaikkan koper dan juga kedua anaknya, lalu melajukan mobilnya menuju ke sebuah apartemen mewah. Semakin mendekati tempat itu, jantung Airi semakin berdebar kencang. Siap ataupun tida, Airi harus menghadapinya.
"Kita ke lantai 15 ya mbak." Kata Bobby sesampainya di tempat barkir.
"Oh iya mas."
Baru kali ini Airi berada di sebuah apartemen semewah ini. Airi dibuat takjub dengan lingkungannya.
"Ini apartemen siapa mas?"
"Mas Sultan mbak. Ini salah satu apartemennya. Biasanya kalau lagi ada kerjaan di dekat-dekat ini, mas Sultan biasa nginep di sini."
"Oh...em..orang tuanya juga di sini?"
"Enggak mbak, ada di rumah Pondok Indah, mbak."
"Oh..."
Airi menghela nafasnya pelan. "Jadi di sini bakal sendiri, kupikir akan di rumah orang tuanya. Salah kira saya."
Bobby tersenyum salah tingkah. Dia sendiri merasa sangat tidak enak dengan situasi ini. Di satu sisi, Bobby merasa kasihan dengan Airi dan segala drama hidupnya. Namun dia tidak bisa berbuat banyak.
"Mbak Airi sama anak-anak istirahat dulu. Di kulkas sudah saya isi bahan-bahan kalau mau masak. Di meja tadi saya sudah pesan beberapa makanan, nanti tinggal diangetin aja. Buat anak-anak juga ada. Besok saya jemput. Kalau ada apa-apa nanti hubungi saya ya. Eh, hapenya bisa dipakai?"
"Ada nomor Indonesia koq, tapi di koper."
"Ah, syukurlah. Nanti hubungi saya di sini ya mbak." Bobby sambil memberikan kartu namanya.
Airi mengambil kartu nama dari tangan Bobby sembari mengucapkan terima kasih. Bobby lantas berpamitan. Namun Airi menahan langkah Bobby dengan keraguannya.
"Mas Bobby, semua baik-baik aja kan?"
Bobby paham dengan maksud pertanyaan Airi, namun dia tak segera menjawab. Dipejamkan matanya sejenak untuk menguatkan dirinya sendiri sebelum akhirnya berkata, "Semua akan baik-baik aja, mbak Airi. Sekarang istirahat dulu. Saya jemput jam 10 ya mbak."
Airi mengangguk, lalu menutup pintu. Sepeninggal Bobby, Airi hanya bisa terdiam sembari mengangkat kedua anaknya ke kasur. Air matanya tak sengaja jatuh begitu saja. Airi hanya bisa memukul-mukul dadanya menahan untuk tidak menjatuhkan air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman Tiga Puluh
RomanceSultan Syah Damara, 31, seorang pekerja di bidang entertainment. Memutuskan untuk berhenti sejenak dari dunia yang membesarkan namanya. Melarikan diri ke Jepang untuk melupakan sejenak penat kehidupan glamor yang dijalaninya. Pertemuannya dengan Air...