Chapter 4 -01

2.8K 240 9
                                    

"Nak...."

"Ya ma?"

"Kamu jam segini koq masih pakai baju pergi tadi nggak ganti?"

Sultan kaget dengan dirinya sendiri. Jam dinding di atas kulkas sudah menunjuk pukul setengah 2 malam. Sultan menutup pintu kulkas, tanpa sadar dia beranjak dari kamarnya mengambil sebotol air dingin. Lebih kaget lagi karena melihat dirinya belum berganti pakaian sejak pulang dari restoran.

"Lagi ada pikiran lagi?"

"Mmmmm....."

"Ganti dulu sana, abis itu ngobrol sama Mama, Mama shalat tahajud dulu ya."

"Ya ma..."

Sultan menurut. Seperti orang yang baru saja tersadar dari sihir, Sultan menggeleng-gelengkan kepalanya tanda dia tidak mengerti tentang apa yang sedang dilakukannya. Semua karena pikirannya kepada Airi. 

Pandangan Sultan masih tertuju pada guci besar di depan tempatnya duduk. Ingatannya membawanya pada pertemuan selanjutnya tepat dua minggu setelah perpisahannya dengan Airi di kereta.

Saat itu Sultan baru saja selesai berkunjung ke Shirakawago lalu melanjutkan perjalanannya kembali ke Takayama, tempatnya menginap semalam sebelumnya. 

Sultan berada di dalam bus yang sedang berjalan pelan sembari menunggu bus di depannya beranjak meninggalkan pemberhentian di depan. Dari kaca jendela bus yang sebagian tertutup oleh tirai berwarna biru, Sultan memandang ke seberang. Nampak sebuah wajah yang dia kenal.

Airi dengan beberapa rombongan orang Indonesia dan orang Jepang juga beberapa orang asing di depan tempat pemberhentian bus yang akan membawa rombongan kembali ke Kyoto.

"Airi, beneran nih nggak ikut pulang sekalian?", kata Kalina, teman satu kampusnya.

"Nggak deh, em, minggu kali ya gue pulang sendiri aja."

"Mau ngapain sih di sini?"

"Travelling, maybe. Kal, gue belum pernah ke Takayama, dan ini acara kampus doank, belum explore banget. Mumpung pada ke sini kan, bilangin aja lah sama Pak Dewo, Airi lagi butuh ketenangan ngerjain paper gitu."

"Ish lo nih, kebiasaan ya kalo udah stress aja maen mulu." Kata Kalina sambil memukul bahu Airi.

"Duh! Koq keras sih Kal?", protes Airi.

"Eh sorry-sorry. Abis kamu si, macem-macem aja. Ini masalahnya besok kan jatah kita siaran, kalo nggak ada kamu, siapa yang ngoperatorin coba?"

"Yaelaaa, kirain situ beneran concern ya sama mental health-nya sini. Ternyata cuma karena siaran to??", seloroh Airi bercanda.

"Ya nggak gitu Ai.....concern bener ini, tapi ya siaran juga harus jalan kan?"

"Hmm....yaudah gampang, ntar aku minta tolong kak Luna deh untuk remote siaran ya."

"Kamu yang hubungin tapi ya? Aku agak sungkan kalo hubungin Mbak Luna duluan."

"Iyaaa....sssshhh ih, hubungin aja kali, Kak Luna baik banget koq. Kenapa sih?"

"Sungkan aja, dia kan cantik banget, takutnya nggak mau bales LINE remahan coklat van houten macam saya."

"Tuh mulai kan, LINE aja, kalo belum di bales ya palingan dia lagi pacaran,"Kelakar Airi.

"Yaudah deh, nanti aku coba LINE juga. Ati-ati ya sendirian di sini. Pulang baek-baek lo."

"Iyeee...."

Airi lantas berpamitan dengan yang lainnya. Lalu melambaikan tangan kepada rombongan saat bus meninggalkan tempat. Sementara itu, di seberang, Sultan baru saja turun dari bus. Mata mereka berpadu, dipisahkan jalan yang sesekali dilewati mobil. 

Roman Tiga PuluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang