Chapter 9 - 04

2.5K 281 10
                                    

"Tok Tok!"

Suara ketukan pintu di depan mengejutkan Airi yang tengah menuangkan nasi lembek ke dalam baby food processor

"Ah, paket dari Amazon kana? Hmmm...mou kita no? Hayai!", gumamnya sendiri.

Biasanya paket dari Amazon akan datang menjelang pukul 12 tepat. Ini masih pukul 10 pagi. 

"Tok Tok!"

Pintu kembali diketuk. Airi segera menghentikan kegiatannya dan setengah berlari menuju ke arah pintu. Diintipnya dari lubang pengintai. Namun dia tidak dapat melihat jelas melainkan dua sosok yang berdiri di sisi kanan dan kiri pintu. Airi bertanya siapa gerangan. 

Pintu dibukanya perlahan. Airi terdiam kaku seketika melihat sosok yang berdiri di depan pintu. Tanpa ragu, dia meraih tangan Airi, menariknya keluar dan memeluknya erat. Sangat erat. 

Airi masih kaku. Dunianya masih belum bisa menerima tentang apa yang sedang terjadi. Namun pelukan itu semakin erat. Tangan Airi bergerak perlahan memeluk tubuh laki-laki yang selalu dirindukannya. Tangis keduanya pecah seketika. Kerinduan yang telah memuncak kini meleleh seketika. 

"Mas......hai.....a..aku...aku...aku nggak nyangka kamu, huh...., kamu ke sini...", kata Airi terbata setelah melepaskan pelukannya, "Mas Bobby juga....", sapanya pada Bobby yang tengah menunduk menahan rasa bersalahnya, "Masuk, mas....", lanjut Airi mempersilakan keduanya masuk.

Sultan mengikuti Airi masuk ke dalam rumahnya. Rumah sewa itu terletak di kompleks yang bisa dibilang sebagai kompleks sederhana. Rumah lantai satu yang berukuran tidak lebih dari 30 meter persegi itu mempunyai susunan bangunan yang nampak sudah tua. Masuk ke dalam rumah, mereka langsung berhadapan dengan dapur di sebelah kanan dan kamar mandi yang terpisah dari toilet di bagian kiri. 

Airi membuka pintu sekat lagi. Sebuah ruangan yang berukuran kecil dan hanya berisikan satu rak besar dan meja persegi di tengah. Airi menyingkirkan laptop yang tergeletak di atas meja. Membawanya ke ruangan sebelahnya. Sultan melihat sejenak sosok kedua anak kecil yang tengah terlelap. Hatinya berdebar seperti terpukul keras. Keinginannya untuk memeluk tengah meronta, namun ditahannya. 

Airi kembali dengan membawa dua buah bantal duduk kecil. Lalu meletakkannya di dekat meja persegi. "Duduk mas," pintanya, "Mau teh panas atau kopi?"

"Airi, udah nggak papa, nggak usah repot-repot.", tolak Sultan halus.

"Eh, tamu datang jauh-jauh koq, masak nggak ditawari minum. Teh aja kali ya, bentar ya...", kata Airi sembari beranjak ke dapur dan mulai memanaskan air.

"Aku nggak pernah ada tamu berkunjung, jadi mohon maaf tempatnya begini.", teriaknya sambil tertawa. 

Sultan memandang Airi yang tengah menyiapkan teh. Tak ada yang berubah darinya. Senyumnya, cara bicaranya, bahkan rambutnya yang kini tergerai masih sama dengan saat pertama kali mereka bertemu. Diarahkan pandangannya berkeliling. Dia melihat potret mereka berdua berukuran kecil yang terpajang di rak. Hatinya semakin terpukul. Potret itu membawa kenangan di Takayama, ketika mengunjungi Hida Folk Village. 

Wanita itu meletakkan dua gelas teh panas di depan Sultan dan Bobby, lalu mempersilakan. Kemudian dia duduk di depan mereka. 

"Koq bisa tahu rumahku di sini sekarang?"

"Dari Luna...", jawab Sultan dengan tegang.

"Oooh...sudah kuduga. Kemarin sebelum pulang, sempat ketemu mbak Luna, katanya tiba-tiba mas Sultan minta ketemu gitu.", katanya sambil tersenyum.

Sultan makin gelisah. Dia tidak bisa untuk menahan apa yang ingin disampaikannya lagi.

"Kenapa kamu nggak datang ke aku langsung?", tanyanya.

Senyum Airi berubah menjadi ketegangan di raut wajahnya. "Kenapa nggak ditanya sama mas Bobby di sebelah?"

Bobby tahu bahwa ini adalah saatnya untuk memulai pembicaraan. "Mbak Airi, saya kesini dengan maksud untuk meminta maaf atas apa yang telah saya lakukan ke mbak. Betul-betul saya menyesal sekali."

Bobby menundukkan wajahnya semakin dalam, sedangkan Airi terdiam sejenak melihat pria yang pernah terang-terangan menghalanginya menghubungi Sultan dan mengusirnya dengan menawarkan uang untuk menggugurkan janin si kembar. 

"Mas Bobby sudah punya anak istri?", tanya Airi.

Bobby menggeleng, "Baru calon istri, kami akan menikah bulan depan rencananya."

"Nanti, kalau mas Bobby sudah menikah, lalu istrinya hamil, mas akan merasakan betapa wanita hamil itu berat. Mas Bobby harus menjaganya, mengantarnya periksa, memperhatikan keadaan psikisnya agar selalu bahagia. Wanita yang hamil sendirian dengan banyak tekanan itu berat mas."

Tatapan Airi sangat tajam ke arah Bobby. Sultan tahu dia marah. 

"Maafkan saya, mbak. Yang dipikiran saya saat itu hanyalah tentang bagaimana membuat nama Sultan tetap bersih. Tapi saya tahu, Sultan tidak menginginkan itu. Namun, saya yang sengaja mengalihkan perhatiannya. Saya tahu kelemahan Sultan yang mudah teralihkan, saya yang sengaja membuatnya sibuk dan memberinya banyak pekerjaan agar Sultan melupakan mbak Airi. Dan.....", Bobby tercekat tak mampu melanjutkan perkataannya.

"Airi, maafkan saya. Maafkan kelalaian saya. Saya tahu alasan apapun yang akan saya utarakan nggak akan bisa menghapus kesalahan. Saya hanya mohon, untuk bisa memperbaiki semuanya meskipun mungkin bagimu sudah terlambat."

"Doushite?"

"Eh?"

"Doushite? Kenapa? Kenapa semudah itu untuk orang-orang seperti mas melakukan ini lalu menghilang begitu saja. Apakah kalian mengira saya hanyalah seorang fans yang memang mengincar untuk bisa tidur dengan artis kesukaannya?"

"Airi, kamu salah!" tukas Sultan cepat.

"Dakara doushite? Jelasin kenapa?", Airi menahan emosinya dengan setengah berteriak. Dia tak ingin kedua anaknya bangun.

"Baik Airi, saya akan ceritakan."

"Aku dengarkan, Mas.... tolong, buat saya bsia mengerti agar saya lega dan tidak terus menerus mengutuk diri saya sendiri karena kembali jatuh cinta pada orang yang salah."



Catatan penulis.

Terima kasih teman-teman. Memang part 9 lebih pendek, karena saya agak kesulitan membagi partnya dengan bab baru. Demi tetap mengikuti pembagian 4 bagian per bab, jadi 03 dan 04 tetap dipisah. Bisa sih dibagi, tapi nggak tau sayanya aja yang rada males ngetik kemaren hehehe.

Terima kasih atas apresiasinya teman-teman semua ^_^

With love,

Ai









Roman Tiga PuluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang