Chapter 12 - 02

2.5K 244 25
                                    

"Aku nggak bisa, mas."

Airi menolak permintaan Sultan untuk pulang ke Jakarta.

"Aku jemput ke sana, kita pulang bareng. Seminggu aja." Bujuk Sultan melalui video call.

"Nggak bisa, mas."

"Kenapa? Kalau berat masalah biaya, aku yang tanggung semua."

"Aku baru aja pulang tiga bulan lalu, dan ini aku nggak ada libur. Jatah cutiku sudah habis. Salah-salah aku dipecat mas. Dan kalau aku dipecat, aku nggak punya visa untuk tinggal di sini. Aku harus ngapain untuk menghidupi anak-anak?"

"Kan ada aku..."

"Aku ini siapa kamu mas?"

Sultan terdiam, tak bisa lagi menjawab pertanyaan Airi.

"Kita bukan siapa-siapa. Hubungan kita hanyalah ayah dan ibu dari Ayuma dan Ayato. Tapi kita tidak terikat apapun. Pun perasaan. Lagipula, kalau pun mereka kamu bawa dan aku membolehkan, apa mas yakin keluarga mas akan menerima mereka seperti saudara sendiri?"

Kalimat Airi menghujami jantung Sultan keras. Dirinya tak bisa menyangkal apabila saudara-saudaranya memang menolak mengakui kedua bocah kembar itu. Pertama kalinya bagi Sultan merasakan sakit seperti ini. 

"Mas orang baik, orang tua mas juga sangat baik sama kami. Tapi hidup ini nggak selalu harus memaksa untuk bersatu kan? Aku capek mas, dengan penolakan. Aku sudah bilang berkali-kali ke mas, kan? Begini saja aku sudah bahagia. Aku cuma ingin mas tahu bahwa ini mereka darah daging mas, sudah itu saja. Kalau sewaktu-waktu mas atau mereka kenapa=kenapa dan butuh transfusi darah atau organ, bisa dilacak. Aku orang science mas. Itu saja yang ada di pikiranku. Aku tidak meminta untuk dinikahi, ingat? jadi tolong, mas. Biarkan kita sama-sama menjalani hidup kita masing-masing."

"Tapi Airi, bagaimana mungkin aku meninggalkan anak-anakku dan kamu, sementara kalian hidup dalam kesusahan seperti itu dan aku di sini bergelimang bahagia?"

"Kami bahagia, mas. Mungkin bagi mas ini tidak ada apa-apanya. Tapi bagi kami, ini adalah bahagia kami yang paling tinggi."

"Kamu nggak bisa egois pada anak-anakmu, Airi. Mereka berhak untuk lebih dari ini."

"Karena itu aku berusaha untuk menghubungi mas selama ini. Karena mereka berhak tahu bahwa mereka punya ayah. Aku juga tidak melarang mas menemui mereka, kan? Mau dibawa ke Indonesia juga aku tidak masalah, asalkan tidak untuk selamanya. Aku butuh mereka, dan mereka juga butuh aku, mas. Mereka butuh kita. "

"Maka dari itu aku mengajakmu menikah, Airi. untuk mereka."

"Untuk mereka, iya mas, aku paham. Tapi menikah bukan hanya status karena terlanjur punya anak, kan? Mas kalau tidak ada cinta, aku nggak mau mas menikah. Kalau keluarga mas nggak menerima aku, aku nggak akan bisa hidup dalam penolakan terus menerus. Cukup bagiku rasanya ditolak oleh keluarga yang tidak menerimaku, dan mas tau rasanya itu? Sakit mas. Mungkin aku bisa menanggungnya, karena aku terbiasa dengan itu. Tapi aku tidak mau membiasakan anak-anakku hidup dalam keadaan yang menyakitkan seperti itu. Lagipula....."

Airi tak segera meneruskan perkataannya, lidahnya tertahan.

"Lagipula apa, Airi?"

"Aku nggak siap kalau harus menjadi sasaran media. Biarlah mereka menjadi rahasia dari dunia."

Sultan kehilangan kata-katanya. Dia tak mampu mendebat Airi. Perkataan wanita itu memang sepenuhnya benar. 

"Aku bawa pulang mereka pas liburan musim dingin ya mas. Sorry, aku mau berangkat kerja sekarang. Sambung nanti ya."

Airi menutup teleponnya dengan segera. Sultan memegang keras kepalanya sembari menunduk. Mencoba memahami keadaan Airi yang membuatnya semakin tersiksa karena iba dan rasa tanggung jawab yang berpadu dengan rasa bersalah yang kian memuncak. 

Tanpa disadarinya, gerak-gerik selama percakapan itu diawasi oleh ibunya yang perlahan mendekati Sultan dan mengelus lembut punggung anaknya.

"Ma..." Kata Sultan sembari memegang tangan ibunya, lalu menyandarkan kepalanya pada tubuh sang ibu yang beranjak membelai rambut putranya.

"Sultan nggak tau lagi harus bagaimana...."

"Hargai hidupnya, nak. Airi adalah seorang pribadi dewasa yang sudah mampu memikirkan apa yang dirasa terbaik untuknya. Apabila dia merasa itu terbaik, hargai itu."

"Tapi Sultan nggak mau jadi orang yang tidak bertanggungjawab, Ma."

"Siapa yang akan ngomong seperti itu?"

"Iya nanti kalau media tahu tentang ini, lalu jadi viral...bagaimana?"

Sembari menarik kursi lalu mendudukinya, wanita yang sudah berusia hampir 60 tahun itu berkata dengan lembut, "Yang kamu pedulikan adalah mereka, atau reputasimu?"

"Maksud Mama?"

"Yang akan ngomong kamu tidak bertanggungjawab itu Airi dan anak-anaknya, atau media dan fans kamu?"

Sultan terdiam seketika. Mamanya benar, dia memang sedang lebih mengkhawatirkan reputasinya.

"Mama rasa, tidak ada pandangan dari Airi yang menyiratkan bahwa kamu orang yang tidak bertanggungjawab. Justru Airi tahu bahwa kamu sangat bertanggungjawab. Tapi dia mempunyai jalan yang telah dipikirkannya sendiri. Kamu, kita, meskipun mempunyai bagian dari hidupnya, yaitu cucu Mama, si kembar lucu, tapi kita ini tetap orang asing untuk mereka. Mama bisa merasakan ada rasa sungkan dibalik ketakutannya. Dan itu wajar. Dia menolak, bukan berarti dia menilai bahwa kamu tidak bertanggungjawab."

Wanita itu menghentikan perkataannya sejenak. Memandangi wajah anaknya yang sedang tertimpa kegalauan.

"Di lain pihak, Mama ingin kamu bertanya jauh di lubuk hatimu, kamu mengajak Airi menikah itu sekedar untuk legalisasi status anak-anakmu, supaya kamu dapat hak asuh atas mereka, atau karena kamu memang mencintai Airi? Yang Mama tahu, kamu masih cinta dengan Maria."

Sultan mengangkat wajahnya. Tak bisa mengelak lagi dengan perasaannya yang memang masih mencintai Maria Rosa. Meskipun pertengkaran tentang Airi yang menjadi alasan Sultan untuk memutuskan hubungan dengan wanita yang terpaut usia 9 tahun itu, namun hati kecilnya tak bisa berbohong. Maria Rosa adalah satu-satunya wanita yang dicintainya lebih dari wanita manapun sebelumnya.

"Pikirkan baik-baik nak."

Sang ibu lantas meninggalkan Sultan yang masih bergulat dengan pikirannya yang tengah dilanda badai. 



Roman Tiga PuluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang