Chapter 2 - 03

3.7K 364 5
                                    

Sultan menengadahkan tangannya sembari berkata, "Boleh mbak, terima kasih." 

Untuk beberapa menit mereka terdiam. Kereta api super cepat itu telah membawa mereka jauh meninggalkan Nagoya. Airi membuka sekotak Ekiben dengan menu seafood. 

"Saya makan dulu mas. By the way, di Shinkanzen ini sudah ada wifi loh, mas Sultan kalau misalnya mau nyoba connect."

Sultan tersenyum, "Iya mbak, saya kurang suka membuka ponsel di tengah perjalanan selain untuk mengecek arah di peta." 

"Oh ya?", tanggap Airi sembari memasukkan sepotong udang ke dalam mulutnya.

"Bagi saya, percakapan seperti ini akan jarang didapatkan jika kita terlalu fokus dengan percakapan jarak jauh. Mbak juga kan, kalau saya tidak tegur, mungkin nggak akan tahu bahwa di sebelah mbak orang Indonesia."

Airi tersenyum sambil masih mengunyah makanannya. Cerdas, pikirnya. Selama ini, dia pikir bahwa artis dan selebriti adalah orang yang peduli dengan popularitas semata. Sultan membuatnya memandang sosok selebriti dari sisi yang lain.

"Ngomong-ngomong, makanan yang mbak makan ini yang namanya Ekiben ya?"

"Iya mas, kenapa gitu?"

"Saya sempat baca-baca tentang Jepang, katanya Ekiben itu lezat, tapi saya belum pernah mencoba. karena katanya terkendala apakah ini halal atau tidak."

"Hmmm......", kata Airi sambil mengunyah dan mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu melanjutkan setelah dia berhasil menelan makanannya, "Iya mas, kalau kita nggak teliti, kadang, dalam menu yang banyak seafood pun kita temui olahan daging babi. Sebetulnya banyak menu yang tidak mengandung babi. Tapi, kembali lagi pada mahzab mana yang dipakai oleh mas. Tiap orang berbeda, kan?", kata Airi sambil melirik Sultan.

"Maksudnya mbak?"

"Ada beberapa orang yang betul-betul harus makan dengan label halal. Kalau nggak ada label halalnya nggak mau dimakan. Sampai susu sapi saja harus berlabel halal. Padahal, mencari produk dengan label halal di Jepang itu susahnya minta ampun, lho."

"Wah, kalau orang seperti itu sih namanya menyusahkan diri mbak." 

Sultan lantas membetulkan posisi duduknya. Dia mulai tertarik dengan pembicaraan ini.

"Saya punya kenalan seperti itu. Saking susahnya mencari susu yang berlabel halal di sini, mas, dia sampai bela-belain impor susu dari negaranya."

Sultan terkekeh, "Masak sih?"

"Iya mas, saya kebetulan pernah bersama dia di dalam acara perayaan salah satu teman kami, kami disuguhkan makanan dan minuman. Salah satunya susu kotak. Dia tahu bahwa itu susu Jepang, dia tolak halus. Dia mengakui sendiri bahwa dia dan keluarganya harus minum susu dan produk yang ada cap halalnya."

"Luar biasa."

"Tapi repot juga mas, misalkan kalau mau makan roti saja, susunya kan dari susu Jepang. Tidak mungkin mereka impor susu berlabel halal."

"Ya itu tadi mbak yang saya bilang, mereka menyusahkan diri sendiri. Niatnya sangat baik, untuk berhati-hati. Dan keberkahan kita kan salah satunya berasal dari apa yang kita makan. Tapi saya pikir, itu terlalu berlebihan, sih. Itu orang Indonesia?"

"Untungnya yang saya kenal bukan, mas."

"Yah, kalau orang Indonesia sih suruh pulang aja. Nggak usah milih Jepang buat ditinggali." Kata Sultan sambil terkekeh.

"Orang Indonesia juga banyak yang strict sih mas. Tapi nggak sampai seribet itu. Palingan, makan harus di tempat halal, beli bahan makanan seperti ayam halal frozen dan sebagainya. Yang seperti itu, masih mudah dilakukan juga. Namun ada juga yang memakan ayam dan sapi tanpa cap halal. Yang penting bukan babi."

Sultan mengangguk-anggukkan. "Mbaknya yang mana?"

Airi tersenyum, "Menghindari babi dan alkohol. Tapi kalau kepepet ya makan ayam sapi juga."

"Sultan mengangkat alisnya sambil tersenyum.

"Eh tapi, saya ngomong begini nggak sama sembarang orang mas. Soalnya komunitas di kota saya termasuk yang strict." Airi berkelakar.

"Ya, itu pilihan mbaknya sih. Hak mbak juga."

"Kalau mas Sultan sendiri?"

"Saya yang penting bukan babi."

Lalu mereka berdua tertawa.

Airi membungkus sampah makannya. Lalu meneguk teh botol yang dibawanya. Sementara Shinkanzen masih terus membawa mereka melaju menerobos hujan.

Sultan benar. Percakapan hangat seperti ini tidak akan pernah didapatkannya bila dia selalu berkutat dengan ponselnya. Airi menyadari, ada yang tidak baik padanya akhir-akhir ini. Mungkin itulah sebabnya, ada perasaan tertekan yang kadang menghinggapinya. Airi terlalu melihat kehidupan dalam layar ponselnya, hingga kadang melewatkan kehidupan nyata di sekitarnya.

Sedangkan bagi Sultan, ini adalah kali pertamanya lepas dari jeratan kehidupan ponsel yang setiap hari harus dijalaninya. Sejujurnya, sudah lama dia tidak merasakan bercengkerama lepas dengan orang asing. Berbicara tanpa memandang predikat siapa dia. Tanpa harus berfikir apakah perkataannya akan baik-baik saja kedepannya. 

Rintik hujan masih membasahi jendela kaca Shinkanzen di sebelah tempat duduk Sultan. Airi melirik ke luar, lalu memalingkan bola matanya ke arah Sultan.

"Seharusnya, sebentar lagi kita melewati gunung Fuji."

"Apakah bisa terlihat?

Airi menggeleng, "Mungkin tertutup awan."

"Sendu ya mbak."

"Enak buat tidur, mas."

"Tidur aja mbak. Itu orang di sebelah juga tidur."

"Mana mungkin saya tidur di sebelah mas Sultan? Jaim saya mas. Nggak mau nampak jelek."

Di luar dugaan, Sultan justru tertawa keras sambil memukul-mukul pahanya mendengar jawaban Airi.

"Haduh, sorry...sorry. Mbaknya ini kalau ngomong suka unpredictable ya."

"Ini receh lho mas." Kata Airi sembari mengernyitkan dahi. Dia tidak mengerti akan selera humor Sultan yang ternyata receh.

"Mbak tau, kerecehan seperti ini yang saya rindukan."

Mata Sultan menatap Airi tajam. Airi tahu, ada beban yang sama seperti yang dia sedang alami.

"Mas, kita adalah dua dunia yang berbeda. Tapi, saya bisa melihat bahwa ada hal yang sama tentang kita."

Sultan tertegun mendengarnya. Ditatapnya lekat mata Airi. Sultan mengerti, dia saat ini sedang seolah bercermin. Mata sendu Airi, seperti halnya dirinya. Mencoba untuk selalu tersenyum. Melewati hari dengan bahagia. Namun jauh di dalam hati, ada beban yang ingin segera dihilangkannya, namun dia tidak tahu. Tidak juga Airi tahu tentang bagaimana harus menghilangkan beban itu.

"Mbak umur berapa?"

"Satu tahun di atas mas Sultan."

"30 ya?"

Airi mengangguk. Sultan kini tahu, mengapa dirinya seolah sangat memahami rahasia arti tatapan mata Airi.

"Bagaimana rasanya 30? Sebentar lagi saya akan menghadapinya. Terus terang, ada rasa takut. Entah kenapa."

Airi menghempaskan tubuhnya. Lalu menatap ke atas. Terdiam lama. Namun Sultan masih dengan sabar menunggu jawabannya. 

Sementara itu, tanpa disadari, mereka melewatkan gunung Fuji.


Curhatan penulis:

Semoga berkenan dengan perbincangannya.

Kalau ada masukan, jangan ragu untuk DM yaaa

with love,

Ai

25 September 2019

Roman Tiga PuluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang