Sabtu kali ini sama seperti sebelum-sebelumnya. Rutinitas Airi hanyalah memasak, mencuci, berberes rumah dan bermain bersama anaknya sebelum membawa mereka pergi berbelanja ke supermarket terdekat. Pagi ini, beruntung keduanya belum bangun. Mungkin karena lelah semalam akibat bermain hingga hampir tengah malam. Dibiarkan mereka begitu saja.
Airi tersenyum memandang wajah keduanya yang terlelap. Sejenak kemudian duduk menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar sembari mengirup secangkir teh hangat di tangannya. Angannya melayang pada setiap perjalanan yang telah dilaluinya.
Tentang masa kecilnya yang kesepian. Beranjak remaja hanya kata-kata cacian yang selalu didapatnya oleh teman-teman sekelasnya. Dia tak pernah meminta lebih. Bahkan tak berani untuk berharap lebih dari sekedar dapat hidup lebih lama. Dia pikir, dengan pergi merantau ke Solo akan membuatnya bertemu dengan orang-orang baru yang bisa menerimanya. Dan rupanya Tuhan mendengar. Masa-masa di Solo adalah waktu berharga Airi menemukan kehangatan sebuah persahabatan. Kasih sayang yang selama ini dia cari hanya didapatkannya dari mereka yang menemani Airi dengan segala kekurangan dan masa lalunya.
Namun, waktu tak pernah berhenti. Setiap orang melanjutkan hidupnya. Maka satu per satu mulai pergi mengejar hidup dan mimpinya sendiri. Meninggalkan Airi yang kembali didera sepi. Kepergiannya ke Jepang, sempat diyakininya bisa mendapat keluarga baru. Airi kembali ingin merasakan kasih sayang yang telah seperti candu baginya. Bagaimana rasanya diperhatikan, dirawat ketika sakit, dibantu ketika susah. Airi ingin merasakannya kembali.
Namun, kekasih yang dijumpainya rupanya tak cukup bisa membawa kepada kebahagiaan yang dinantinya. Lagi-lagi, masa lalu Airi yang harus kemudian diungkit oleh kedua orang tuanya. Airi meronta meminta untuk dilepas, namun dia tak tega untuk melepas dengan dalih rasa sayang untuk menutup kerapuhan jika kehilangan Airi. Airi mengalah. Hingga pada akhirnya tak pernah ada perkembangan. Airi tak meminta lebih. Dia hanya ingin bisa diterima di keluarga yang bisa menganggapnya seperti anak kandung. Hanya itu. Tak lebih.
Karenanya Airi memilih untuk mengakhiri setelah menyadari bahwa dunia mungkin tak berpihak padanya. Maka diputuskannya untuk mencari kebahagiaan dengan dirinya sendiri. Hingga bertemu dengan Sultan di kereta waktu itu. Airi punya pilihan untuk tidak menanggapi, namun dia telah memilih untuk mengikuti aliran cerita yang telah dipilihnya.
Hingga dirinya sadar ada yang berbeda pada tubuhnya sepulang Sultan. Tak ada yang bisa diajaknya berbicara tentang apa yang tengah terjadi padanya. Tak ada seseorang di dekatnya ketika dia berteriak antara senang dan terkejut mendapati dirinya hamil. Tak ada tempat berbagi ketika dia merasakan tendangan dari dalam perutnya untuk pertama kali. Namun dia telah terbiasa berbagi dengan dirinya sendiri.
Penolakan yang dialaminya ketika berusaha memberi tahu Sultan membuatnya memutuskan untuk hidup sendiri. Dia tak pernah meminta untuk menikah dengannya. Dia hanya ingin memberi tahu bahwa anak itu adalah anak Sultan. Diterima atau tidak. Dia hanya ingin Sultan tahu. Itu sudah cukup baginya. Semenjak itu, Airi sudah tak pernah lagi memaksa untuk Sultan tahu. Setidaknya cukup baginya untuk mengenalkan Sultan pada kedua anaknya sebagai ayahnya meski mereka tak akan pernah bertemu lagi.
Meski begitu, jauh di lubuk hatinya, Airi merasakan kerinduan yang luar biasa. Wanita mana yang tak merindukan seseorang yang pernah membelainya dalam kasih sayang meskipun dalam waktu singkat? Setiap kali dia pergi ke klinik dan melihat ibu muda ditemani pasangan atau keluarga, sakit hati Airi karena dirinya hanyalah sendiri. Beruntung tinggal di jepang dengan segala toleransi atas hidup orang lain, membuatnya tak perlu repot memikirkan omongan orang lain. Meski begitu, terkadang, diantara komunitas Indonesia, dia memang harus menutup telinga lebih rapat.
Kesepiannya berangsur menghilang setelah Ayuma dan Ayato terlahir. Keputusannya untuk melewati semua itu dengan sabar membuahkan kebahagiaan yang selama ini dicarinya. Meskipun mereka belum mengenal dunia, namun Airi telah merasakan kasih sayang dari kedua anaknya. Dan baginya, itu sudah lebih dari cukup. Si kembar adalah dunianya saat ini. Meskipun terkadang masih ada saja sepi yang mencoba menyusup. Wajar saja, dia tak punya teman untuk berbagi cerita tentang pertumbuhan si kembar. Lagi-lagi, yang dilakukan Airi hanyalah berbicara pada dirinya sendiri.
Perjuangannya mendapatkan pekerjaan dan visa tinggal saat ini juga sangat melelahkan. Dan lagi-lagi, dia hanya bisa mengeluhkannya sendiri. Bertemu dengan orang Indonesia menjadi hal yang dibencinya. Untuk itulah dia memilih untuk menepi dari komunitas. Tinggal di tempat yang jauh dari pusat kota. Menghidupi dirinya dan si kembar sendiri. Hatinya merasa lebih nyaman dari banyaknya serangan pertanyaan dan gunjingan.
Airi meneguk perlahan tehnya sebelum meletakkan gelas di atas meja kecil di sampingnya. Dibelainya kedua anaknya satu persatu, lalu diciumnya.
"Arigatou chan", katanya pada keduanya yang masih terlelap.
Ditutup pintu kamarnya perlahan. Airi kembali dengan aktivitasnya memasak. Tak ada penyesalan atas yang terjadi padanya. Hanya rasa syukur atas kehadiran si kembar yang melengkapi kepingan teka-teki hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman Tiga Puluh
RomanceSultan Syah Damara, 31, seorang pekerja di bidang entertainment. Memutuskan untuk berhenti sejenak dari dunia yang membesarkan namanya. Melarikan diri ke Jepang untuk melupakan sejenak penat kehidupan glamor yang dijalaninya. Pertemuannya dengan Air...