Chapter 9 - 02

2.4K 306 33
                                    

Sultan tak bisa memejamkan matanya dengan tenang semalaman. Pikirannya tak karuan berusaha untuk menghubungi Airi melalui akun Instagram yang dia dapatkan dari Luna sebelumnya. Sayangnya, Airi tak kunjung membalas pesannya. Entah karena belum ada kesempatan, atau memang sengaja menghiraukan. Tetap saja, hal ini membuat Sultan semakin gelisah pada putaran arus emosinya.

Lamunan yang sudah dilakukan selama hampir setengah jam itu harus terhenti ketika pintu kamar hotelnya diketuk halus. Mau tak mau, dia harus beranjak membukanya.

"Ya Ma?", katanya ketika melihat sosok ibunya berada di depan.

"Makan Nak?"

"Oh iya, Ma. Mama Papa dah mau turun?"

"Iya nih, Bobby sudah duluan barusan."

"Bentar Sultan ganti celana dulu, Mama Papa duluanlah."

"Yaudah cepet ya, kita check out saja setelah makan. Nanti tolong kabari nak Luna, kalau dia jadi mau ikut balik ke Jakarta nggak, nanti biar cepat dipesankan tiket."

"Iya, Ma"

Sultan menutup pintu dan segera memakai celana panjangnya dan keluar kamar untuk menyusul Bobby dan orang tuanya sarapan di restoran hotel. Namun belum sampai dia di restoran, terlihat orang tuanya bersama Luna dan Yota menunggunya di lobby hotel.

"Mas Sultan, Yota, kakaknya Airi bilanga da yang ingin dia sampaikan.", kata Luna pada Sultan dengan wajah serius. 

"Kita ngobrol sambil makan, ya...", katanya lalu berjalan ke restoran diikuti yang lain.

Sultan duduk di tengah, di sampingnya duduk sang ibunda. Di depannya duduk Yota dengan Bobby dan Luna mengapit keduanya, sedangkan ayah Sultan duduk di ujung meja sendiri. 

"Mmm..terima kasih sudah menerima saya. Saya atas nama keluarga mohon maaf atas kekurang-ramahan peristiwa kemarin. Oleh karena itu, saya kemari untuk menjelaskan sesuatu agar Mas Sultan dan keluarga bisa memahami keadaan keluarga kami, sehingga pandangan tentang Airi tidak akan berubah dan keluarga tetap bisa menerima Airi seperti adanya."

Yota membuka percakapan dengan tegang. Pandangannya tertunduk ke bawah, sesekali menatap Sultan dan orang tuanya, namun sesaat kemudian kembali tertunduk. 

"Silakan dilanjut, nak yota. Kami mendengarkan, disambi makan ya...", kata ayah Sultan.

"Silakan, pak. Mohon maaf, saya jadi mengganggu."

Yota menarik nafasnya dalam sebelum akhirnya mulai bercerita.

"Papa pernah ditugaskan untuk sebuah proyek di Kalimantan, yang mengharuskan dia tinggal selama kurang lebih 4 tahun di sana. Waktu itu saya masih baru berumur 5 bulan ketika Papa berangkat. Mama menolak untuk mendampingi dengan alasan bahwa saya masih kecil. Di thaun ke 4, Papa pulang, tapi beberapa bulan kemudian kembali ke sana. Sekitar 2 minggu setelahnya, Papa pulang membawa seorang bayi perempuan yang abru berumur kira-kira 10 harian. Mama bertanya bayi siapa itu. Papa mengatakan bahwa itu adalah anak dari istri sirinya di Kalimantan yang baru saja meninggal saat melahirkan bayi itu."

Laki-laki berusia 36 tahun itu berhenti sejenak dan menundukkan kepalanya semakin dalam.

"Bayi itu adalah Airi?", tanya Ibu Sultan.

Yota mengangguk. "Mama histeris, dan mengamuk sejadinya. Satu hal yang kami maklumi atas pengkhianatan Papa. Mama yang saat itu sedang tengah mengandung, keguguran karenanya. Dan menyalahkan Airi atas itu semua. Namun, mereka mencapai kesepakatan untuk tidak bercerai dengan syarat Mama tidak mau menyentuh bayi Airi sama sekali. Sakit hati Mama tidak pernah bisa disembuhkan. Mama selalu menaruh dendam pada perempuan yang dia tak pernah tahu. Oleh karenanya, Mama melampiaskannya pada Airi."

Roman Tiga PuluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang