Airi menghela nafas panjang sembari memainkan jemari tangan kanannya di atas dada bidang Sultan. Pikirannya melayang berputar pada seluruh perjalanan hidupnya. Dia tidak pernah berbuat senekat ini sebelumnya. Airi merasa aneh. Tidak ada penyesalan atas hal yang tengah dilakukannya. Meski begitu, dia paham sepenuhnya bahwa itu salah.
"Kenapa?", tanya Sultan lembut sambil membelai kepala Airi.
Wanita itu menggeleng, lantas memeluk Sultan erat. Membuatnya itu terperangah mendapati pelukan seperti itu. Pelukan itu serasa penuh dengan kegundahan sang pemilik hati yang kini tengah menyandarkan tubuh padanya.
Sejenak menghembuskan nafas berat, seolah berusaha melepaskan beban yang selama ini tak pernah diungkapkannya pada siapapun. Airi membuka suara, "Sebentar lagi aku memasuki umur 32", lalu tertawa sinis dan melanjutkan perkataannya, "kamu tahu, wanita yang sudah lewat 30 dan belum menikah itu akan selalu menjadi perbincangan dimanapun. Oleh keluarganya, temannya, teman kerja, bahkan orang yang tidak dikenal sekali pun."
Sultan merasa setitik air mata menetes di atas dadanya.
"Teman-teman sekelasku, satu jurusan, bahkan junior-junior hampir-hampir sudah punya anak. Dan siapa yang tertinggal? Saya seorang. Kata mereka aku terlalu pemilih makanya nggak nikah-nikah. Apa salah kalau aku sudah memilih seseorang dan aku memilih untuk menunggunya siap? Membersamainya berjuang untuk mencapai sukses, meski akhirnya yang terpilih adalah yang jaraknya lebih dekat dan bukan wanita ini yang menunggu dan menunggu. Aku kalau pacaran paling cepat 4 tahun lho."
Air mata Airi mulai deras. Sultan memeluknya erat, meski dirinya tak bisa berkata apa-apa.
"Atau mungkin, aku memilih orang yang salah. Dan aku selalu terjebak dalam pilihan yang salah."
"Aku pikir, tidak ada sebuah pilihan yang salah. Hmm...ya katakanlah memang salah, namun kita pun sebetulnya punya pilihan untuk kemudian meninggalkan juga, bukan? Seperti ketika dia memilih untuk meninggalkanmu dan berpaling pada yang lain...."
"Iya....kamu benar, mas. Aku punya pilihan untuk pergi. Entah kenapa aku tak pernah memilih untuk pergi hingga yang terakhir ini."
"Lalu, apa yang membuatmu memutuskan untuk pada akhirnya pergi?"
Airi terdiam sejenak. Ditariknya nafas berat dan dihembuskan panjang. " Mungkin karena aku sudah lelah. Kelihatannya saja aku cuek, tapi aku nggak bisa terus bertahan tanpa kejelasan. Katanya sebelum menikah, ketemu dulu dengan orang tuanya. Tapi, bulan demi bulan, hingga tiga tahun lamanya ada aja alasan untuk batalin itu. Kalau misalkan aku tidak disetujui, kenapa harus mempertahankanku selama itu? Kenapa tidak lantas melepasku?"
"Jika aku yang di posisi itu, mungkin karena aku sangat menyayangimu, dan aku butuh kamu, sehingga aku nggak akan bisa melepasmu meskipun orang tuaku belum menyetujui. Semacam, masih berjuang untuk meyakinkan orang tua."
"Tapi, mas, bukankah akan lebih baik kalau membicarakan itu baik-baik. Kemudian melepasku, dan dia bisa mencari yang lebih disukai oleh orang tua, dan aku juga bisa mencari yang lain yang lebih siap untuk hidup bersamaku. Aku nggak minta macam-macam. Aku cuma ingin menikah dan punya keluarga sendiri, punya anak dan suami yang bisa kusayangi dan menyayangiku. Aku lelah mencintai orang lain. Bukankah cinta itu harus saling berbalas supaya disebut cinta? Aku lelah mencintai diriku sendiri."
Air mata Airi tak bisa dihentikan lagi. Isaknya semakin kencang. Sultan mempererat pelukannya.
"Ssshhhhh......ssshh...ssshhhh..."
"Makanya, aku kadang ke puncak ISetan, karena di situ aku bisa sedikit berteriak jika sepi dan berusaha melupakan kesedihan ini", katanya dengan sedikit memaksa tertawa.
"Eh tapi, aku ngomong gini bukan terus minta dinikahin mas Sultan loh ya!", sambungnya.
Sultan tertawa. "Kalaupun iya, aku juga bersedia koq...", jawab Sultan sembari membelai rambut Airi.
Airi terkekeh kecil, "Iya kalau serius, aku juga mau sih. Tapi kayaknya ini bukan lamaran yang bagus. But, It's fine, I'm fine, koq. I'm okay...."
Keduanya lantas tertawa. Sultan merasa sedikit lega mendapati wanitanya sudah kembali ceria. Dipeluknya erat Airi, hingga mereka terpejam.
Kali ini mata Sultan kembali terbuka. Dilepaskan nafasnya yang berat ke udara. memandang jauh diantara lalu lalang orang yang bergegas keluar masuk platform kereta.
"Aku beli kopi dulu ya," seru Bobby lantas naik ke lantas atas Central Gate di stasiun Kyoto tempatnya berdiri saat ini.
Sultan hanya mengangguk. Pikirannya masih terbawa jauh pada ingatannya tentang Airi. Setelah satu minggu banyak hal yang dilaluinya, dan juga setelah pertemuannya dengan orang tua Airi, kali ini Sultan memahami apa yang diucapkan Airi pada saat itu.
Tentang perasaannya yang lelah untuk mencintai diri sendiri. Hal ini menjadi masuk akal bagi Sultan yang telah mempelajari liku kehidupan wanita yang tengah dicarinya. Setelah satu minggu ini mempelajari tentang Airi, kini dia memahami dengan jelas alasan mengapa Airi mengatakan pada Luna jika dia menginginkan hidupnya seperti saat ini. Yaitu membesarkan anak-anaknya sendirian.
Sultan mengutuk kebodohannya. Mengutuk kelalaiannya. Rupanya kali ini, pilihan hidupnya lah yang salah.
Catatan penulis
Terima kasih banyak yaa teman-teman, sudah sudi untuk membaca dan menunggu kelanjutan kisah Sultan dan Airi.
Love,
Ai
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman Tiga Puluh
RomanceSultan Syah Damara, 31, seorang pekerja di bidang entertainment. Memutuskan untuk berhenti sejenak dari dunia yang membesarkan namanya. Melarikan diri ke Jepang untuk melupakan sejenak penat kehidupan glamor yang dijalaninya. Pertemuannya dengan Air...