Chapter 3 - 04

2.9K 246 8
                                    

"Hidup di Jepang rasanya gimana, sih?" Selidik Sultan yang memang dari dulu penasaran ingin tahu tentang hidup menetap di Jepang.

"Uhm.....", Airi berusaha menelan makanannya.

"Ah, sorry..sorry, telen dulu," Kata Sultan lantas disambung dengan tertawa renyah mereka berdua.

"Sebetulnya sih sama saja dengan Indonesia. Hidup ya begini aja. Bangun tidur, beraktivitas, makan, ibadah, kerja, tidur lagi. Sama. Tapi memang, Jepang itu mengubah hidup banyak orang yang datang. Terutama orang Indonesia, ya."

"Mengubah yang bagaimana ini mbak? Hmm..kayaknya menarik."

Airi terkekeh melihat Sultan yang terkena pancingan pembicaraan ini.

"Orang yang datang ke Jepang pasti akan punya berubahan dalam hidupnya, mas. Saya disini berbicara untuk yang menetap lama ya, bukan yang berkunjung dalam waktu singkat."

"Oke..", Sultan mengangguk-anggukkan kepala sembari menggigit burgernya.

"Orang yang ke Jepang pasti berubah. Entah itu menjadi lebih baik, lebih rajin, lebih ancur, atau lebih ekstrim. Lebih ekstrim ini yang luar biasa kadang bikin saya terkaget-kaget karena dinamikanya cepat sekali. Sebagai contohnya, saya punya teman, laki-laki. Dia anaknya sangat ramah, sopan, baik, nggak neko-neko. Lalu saya tahu dia sering mengikuti pengajian dari sebuah komunitas. Lantas, tahu-tahu, dia jadi sering menyebar hate speech. Mas tahu lah ya yang seperti apa."

"Di Jepang juga ada mbak?"

"Banyak mas. Saya tidak menyalahkan pengajiannya. Saya sendiri terus terang jarang mendatangi pengajian di sini, salah satunya karena ketakutan sendiri juga. Tapi sungguh disayangkan, pengajian yang seharusnya damai dan sejuk membahas mengenai agama, kemudian berubah menjadi diskusi politik yang berujung pada ujaran kebencian."

"Meskipun di dalam Islam sendiri mengajarkan tentang kehidupan berpolitik Nabi saw, tapi setuju dengan mbak bilang, bahwa tidak seharusnya sebuah diskusi politik diarahkan untuk membenci lawan politik. Saya kira itu sebetulnya berawal dari sentimen ustadnya mungkin. Mungkin dilatarbelakangi oleh perstiwa yang tidak mengenakkan, lantas membuat pandangan ustad tersebut terhadap seseorang menjadi berubah, kemudian menjadi tidak suka."

"Exactly! Manusia tidak lepas dari yang namanya curhat. mungkin awalnya hanya mau curhat, tapi tanggapan pendukung malah menjadi seperti minyak disiram ke kompor gas. Meledak!! Jadilah ujaran kebencian."

"Tapi yang saya juga tidak sukai adalah, mengapa lantas mereka yang tidak tahu apa-apa juga pada akhirnya ikutan menyebarkan hal tersebut?"

"Karena orang Indonesia itu loyal mas. Mereka sangat loyal terhadap idolanya. Misalkan mereka mengidolakan saya, apapun yang saya katakan, apapun yang saya ucapkan, mereka pasti setuju. Itu kesimpulan saya sampai saat ini. Mas Sultan aja lho ini, kerasa kan gimana penggemar mas?"

Sultan mengangguk-anggukkan kepalanya tanda menyetujui pendapat Airi.

"Bener banget mbak. Itu yang kadang membuat saya stress sendiri karena betul-betul saya dituntut untuk punya seratus filters sebelum saya mengatakan sesuatu, terutama di medsos dan di depan banyak orang. Gampangnya gini, pernah ketika saya bilang I love her so much untuk Maria Rosa, langsung jadi berita katanya kami pacaran, akan melangsungkan pernikahan. Fans mengucapkan turut berbahagia dan sebagainya."

Airi tertawa mendengar penuturan Sultan, "Padahal ucapan itu biasa ya buat orang terdekat."

"Itu! Sama, ketika idola bilang misalkan saya disakiti oleh si anu, pastinya fans juga akan ramai membela idola. Meskipun belum tentu awal permasalahannya dari orang yang dihujat kan?"

Roman Tiga PuluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang