Sultan terbangun oleh suara ramai di ruang tamu yang letaknya tepat di depan kamarnya. Dilirik jam kecil di sisi kanan tempat tidur, waktu menunjuk pukul 10 siang.
"Astagfirullah", pekiknya.
Rupanya dia terlambat bangun. Dengan bergegas dia keluar dari kamarnya.
"Oy, Mas Sultan, kesiangan mas? Tumben jam segini baru keluar kamar," tegur Jojo sambil cengengesan.
"Iya nih, semalam nggak bisa tidur gue, Jo. Ngapain di sini?"
"Itu dipanggil si Om, solar power ngadat katanya."
Jojo melenggang begitu saja ke belakang, tempat solar power berada. Sultan mengikutinya dari belakang pelan. Kemudian didengarnya pembicaraan antara ayahnya dan temannya itu.
"Ini lho Jo, dua hari ini kalau dipakai bunyi. Apa karena jarang kepake ya? Lusa kan mau ada pengajian terus siraman buat adiknya Sultan kan, Om khawatir kalo-kalo listriknya nggak cukup."
Sultan melihat Jojo membungkuk mengecek properti yang dia sendiri bahkan tidak tahu menahu mengenai itu. Dipandangi Jojo yang kemudian berusaha naik ke atas genteng untuk melihat kondisi solar panel yang terpasang di atap rumah Sultan.
"Batrenya sih oke om, kayaknya masalahnya di sambungan kabel deh. Jojo panggilin tukang ya om."
"Nggak bisa kamu yang nangani, Jo?"
"Bisa tapi mungkin agak lama, Om. Jojo kebetulan mau jemput kakak sepupu jam 2 di bandara. Tapi coba dibuka dulu."
Sultan mendekat.
"Kakak sepupumu kalo nggak salah pernah kuliah di Jepang ya Jo?"
"Iya mas, 50 tahun di sana."
"Hah!! 50 tahun berarti lebih tua dari Om donk," Sahut ayah Sultan yang disambut tertawa Jojo.
"Habisnya kelamaan dia di sana sampai lupa pulang."
"Masih di Jepang?", tanya Sultan.
"Nggak mas, udah pulang koq tahun lalu. Ini mau jemput dari penerbangan Jogja."
"Itu yang Mega bukan?", tanya ayah Sultan.
"Bukan Om, tapi kakaknya mbak Mega. Mbak Luna, Om."
"Kalau yang pernah kamu ajak masang solar panel waktu itu?"
"Nah itu si mbak Mega om. Yang gede kan badannya?"
"Iya..."
"Mbak Luna itu kakaknya, kecil om orangnya. Suka dikira adeknya mbak Mega."
Sultan merasa pernah mendengar nama Luna sebelumnya. Samar-samar ingatan mengenai sosok Airi yang sedang menelepon dan menyebut nama Luna dengan latar belakang sebuah kuil berputar dalam ingatan.
"Luna itu pernah ikut Radio PPI Jepang gitu nggak ya Jo?"
Jojo berhenti dari aktifitasnya, lalu memandang Sultan.
"Kayaknya pernah mas. Kenapa?"
"Boleh minta kontaknya? Atau bisa ketemu nggak?"
"Boleh si mas..."
"Aku ada yang mau dibahas buat promo." Sahut Sultan berbohong.
"Oh...oke, nanti aku omongin dulu sama mbak Luna ya mas."
"Makasih Jo."
Sultan lalu pergi meninggalkan Jojo dan ayahnya yang masih berkutat pada masalah solar panel. Pikirannya kini dipenuhi harapan untuk menggali informasi mengenai Airi dari saudara Jojo. Segera dirinya bersiap untuk pergi ke studio.
Angannya tertuju pada kenangan yang membawanya kembali kepada hati yang ditinggalkannya begitu saja. Perasaan Sultan bercampur aduk. Ada penyesalan yang dalam. Rasa penasaran yang tinggi. Dan kerinduan yang teramat menyakiti.
Kenangannya kembali pada malam itu, di Takayama. Ketika keluar dari restoran teppanyaki, mereka berjalan mengitari sudut kota. Mengabadikan pemandangan malam kota Takayama. Angin berhembus kencang malam itu, dan Airi sudah tak kuasa menahan dingin.
Airi melangkahkan kakinya masuk ke dalam mini market di pinggir jalan.
"Huuuu dingin.....", seketika dirinya menuju ke rak minumakn dan mengambil dua botol air mineral berukuran 2 liter dan 600ml. Sultan mengikutinya, sembari mengambil air mineral juga.
"Mas Sultan pesan sarapan di hotel?", tanyanya yang dijawab dengan anggukan Sultan. "Saya nggak mas. Pilih sarapan dulu ya..."
Airi melenggang ke bagian makanan begitu saja tanpa menunggu jawaban Sultan. Mereka kembali memilih, lalu membayar dan keluar dari mini market.
"Masih mau jalan mas?"
"Hmm...mbak?"
"Nggak deh saya. Anginnya udah nggak bersahabat gini. Mending buat ofuroan."
"Iya juga sih. Masih ada besok juga. Pulang nih?"
Airi mengangguk mantap.
"Sini saya bantu bawakan," Kata Sultan sembari mengambil kantong plastik Airi.
Angin menyapu sisa daun yang terjatuh di jalanan. Melewati mereka begitu saja. Kendaraan berlalu lalang bersama dengan ratusan orang di jalanan kota itu. Waktu masih menunjukkan pukul setengah sembilan, namun musim itu membuat malam nampak sudah larut. Perbincangan hangat di antara mereka masih tak bisa menahan dinginnya angin kala itu.
Sultan mengikuti Airi melangkah menuju kamarnya di lantai dua.
"Makasih banyak lho mas udah dibantuin bawain belanjaan," kata Airi tak lupa menyertakan senyumnya yang paling Sultan sukai selama dalam kebersamaan mereka.
Lorong kamar Airi mempunyai sedikit pencahayaan, namun Sultan masih dapat melihat wajah Airi dengan jelas karena pantulan sinar cahaya dari luar jendela kamar yang terbuka tirainya di belakang Sultan.
Sultan mengarahkan tangannya menuju ke sisi kiri kepala Airi. Mengambil ranting yang tertambat rambut panjangnya.
"Ada ranting nyelip.."
"Ah...makasih.."
Airi menjadi semakin salah tingkah di buatnya. Keduanya saling mendekat dan menatap. Nafas Airi memburu akibat detak jantungnya yang mulai tak beraturan. Sultan membelai rambut depan Airi. Seketika saja mereka saling melumat bibir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman Tiga Puluh
RomanceSultan Syah Damara, 31, seorang pekerja di bidang entertainment. Memutuskan untuk berhenti sejenak dari dunia yang membesarkan namanya. Melarikan diri ke Jepang untuk melupakan sejenak penat kehidupan glamor yang dijalaninya. Pertemuannya dengan Air...