Chapter 5 - 04

2.9K 231 2
                                    

"Dingin.......", rajuk Airi yang mulai kedinginan karena terus berada dalam pelukan Sultan tanpa sehelai benang pun.

"Iya..iya...yaudah yuk kita ofuroan", jawab Sultan sembari meremas mesra payudara Airi. Membuat Airi terkikik karena geli.

Sultan masih memandangi Airi yang bergegas memakai pakaiannya kembali dan menyiapkan pakaian baru yang akan dipakainya selepas mandi nanti. Dadanya sesak. Rasaya ingin menahan hari agar tidak cepat berganti. Dipeluknya kembali wanita itu dari belakang. 

"Bisa nggak begini aja terus?"

Airi terdiam. 

Dirinya tak pernah merasakan begitu diinginkan seseorang seperti ini sebelumnya. Untuk sesaat Airi terpejam menikmati pelukan hangat Sultan yang masih hanya memakai celana saja.

"Kalau aku bisa mencuri waktu, akan kucuri hanya untukmu, mas..."

Suara Airi tercekat. Dalam hatinya menyadari bahwa pertemuan ini akan segera berakhir besok. Dia harus segera bangun dari tidur indahnya untuk kembali berkutat dengan penleitian dan artikelnya. Dan hanya menikmati Sultan dari layar kaca secara diam-diam seperti hari biasa.

"Bisakah aku mengikat hatimu hanya untuk aku saja?"

Airi tak segera menjawab. Matanya masih terpejam.

"Jika takdir memang menghendaki kita, hati ini sudah terikat, dan kamu tahu kepada siapa."

Airi berbalik, melepaskan diri dari pelukan Sultan. Menahan dadanya yang memanas karena rasa sesak yang tiba-tiba menjalar. Memandangi Sultan yang juga memandang lekat padanya. Sedetik kemudian didaratkan ciuman pada bibir Sultan. Sultan memeluknya erat. Dadanya tak ubahnya sesak seperti Airi. Andai saja dia bisa mencuri waktu milik Airi dan memberikan waktunya untuk kebersamaan mereka lebih lama, Sultan akan lakukan itu dengan segenap hatinya.

"Mandi yuk..", pinta Airi.

Sultan mengangguk lalu memakai pakaiannya, dan menuntun Airi menuju ke kamarnya yang lebih besar.

"Gila, ini sewa sehari berapa mas?", pekik Airi melihat kamar Sultan yang sangat mewah.

Sultan terkekeh dan tidak menjawab.

"Ck, memang ya artis itu duitnya banyak."

"Tapi tuntutan kerjaan juga banyak. Jarang-jarang loh ada yang bisa kabur kayak gini", katanya sambil duduk di ranjang. Menikmati Airi yang masih berkeliling melihat isi kamarnya.

"Sebulan nggak kerja dan cuma berkeliling gini apa nggak ngabisin duit banyak? Kan nggak ada pendapatan?", tanya Airi polos.

"Kan ada bisnis karaoke, sama restoran, dari situ aja dulu sih..."

Airi memutar bola matanya, "Iya bener juga sih, orang kaya mah bebas...."

"Emang kamu nggak mau kaya?"

"Aduh mas....", Airi ikut duduk di dekat Sultan, "Orang seperti saya yang terlahir tidak kaya, tidak punya privilege, tidak punya bakat, tidak punya koneksi kemana-mana, ya mau lah jadi kaya. Tapi, banyak orang yang sudah bekerja keras, tapi gini-gini aja. Mas beruntung tau...."

Sultan mencermati kata demi kata yang Airi ucapkan. Dirinya membenarkan ucapan Airi. Hidup di kota besar dengan berbagai fasilitas dan koneksi yang dipunya oleh keluarganya membuat hidupnya memang sedikit lebih mudah. Bahkan awal mula menjadi artis seperti sekarang pun bukan karena kerja keras seperti yang lainnya. Meski dibilang dia adalah pria yang berbakat, namun penemuan bakatnya yang secara "kebetulan" saat dia diminta menyanyi di cafe saat acara ulang tahun temannya membuat perjalanannya di dunia hiburan ini menjadi terbuka lebar.

Tapi untuk orang lain, mereka harus berjuang keras, itu pun belum tentu mereka akan menikmati sukses seperti dirinya. Hanya beberapa orang yang dikenalnya, itu pun masih bisa dihitung dengan jari.

"Apa dunia kita seberbeda itu, Airi?"

Airi mengangguk. 

Sultan mencoba untuk memahami pemikiran dari sisi Airi. Kini dia mengerti mengapa wanita itu selalu mengucapkan kata-kata yang terlalu kontras dengan apa yang dijalaninya. 

"Tapi rasa yang kita punya ga beda kan?"

Kali ini Airi menggeleng. Untuk sekali lagi, Sultan menyibakkan rambut depan Airi sebelum kembali menciumnya dengan lembut, lalu mencubiti pipi Airi.

"Kayak pipi bayi..."

Airi tertawa.

"Ayuk mandi ah, lengket aku...."

Airi menarik Sultan bangkit menuju keluar. Mereka memasuki pemandian alami yang sudah dibuat khusus hanya untuk tamu di ruangan itu saja. Pemandangan pegunungan nampak di luar. Airi sudah tak sabar lagi menikmati senja sambil berendam dalam kolam air panas. Ditanggalkannya pakaian begitu saja di depan Sultan. Membuat jantung Sultan berdebar kencang dan kembali dipenuhi keinginan untuk memasuki tubuh Airi sekali lagi.

Namun Sultan hanya berdiri mematung, memandangi Airi yang sudah duluan menyiramkan air shower yang ada di tepi kolam. Airi menoleh ke arah Sultan.

"Ayo..ngapain bengong kamu?"

Sultan tersadar dari pikiran kosongnya, lalu kemudian melepas pakaiannya mengikuti Airi.

Dibelainya tubuh Airi menggunakan kedua tangannya dari belakang. Airi bisa melihat Sultan dari kaca di depannya. Sultan memeluknya erat sembari menciumi leher belakang. Airi menyandarkan kepalanya pada kepala Sultan sembari melihat mereka berdua dari cermin.

Seolah mengerti apa kata dua hati yang menahan benturan antara kegembiraan dan kesedihan dalam satu alunan cinta. Sultan mengutuk dirinya sendiri yang jatuh cinta pada keadaan yang sulit untuknya melangkah. Sedangkan Airi mengutuki diri karena selalu terjatuh pada hati yang belum benar-benar memilihnya.

Tetap saja mereka mencuri masa untuk sebuah kebersamaan singkat ini. Apapun resikonya.

Roman Tiga PuluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang