Senja telah menghitam. Menyisakan cahaya temaram lampu kota dan bising mobil yang dipacu kencang untuk segera pulang. Para penjaja makanan malam telah membuka kedainya di sepanjang trotoar. Dan pengamen jalanan sesekali melewati mereka yang masih berdiri di tepi pagar memandangi lalu lalang. Berdua saja kala itu menikmati sepi dalam dunia yang baru saja tercipta.
Adalah satu hati yang bergejolak dengan masa lalu, dan satu hati yang tengah menyangsikan masa depan. Keduanya tak pernah tahu takdir apa yang sudah tertulis baginya. Di tengah hening pada kebisingan, dan pikiran yang melayang pada jalan hidup masing-masing. Purnama mulai mengintip malu dari balik awan. Ditemani bintang yang sinarnya tersamar. Keduanya sudah terdiam cukup lama.
"Kruukk...."
Suara perut Airi memecah keheningan. Disusul tawa Sultan yang membahana seakan puas melakukan sesuatu yang jahat. Airi tertawa malu menanggapinya.
"Saya lupa terakhir makan tadi pagi sebelum ke kampus. Akibat menolak ajakan makan siang hanya karena nggak berani jika bertemu orang," katanya menertawakan kebodohannya sendiri.
"Saya juga mulai lapar. Mau makan bareng?" Ajak Sultan disambut Airi dengan mata melotot ke arahnya.
"Di mana?", tanya Airi dengan suara bergetar membayangkan restoran mewah yang dirinya bergidik ngeri mengingat harganya yang tak bisa terjangkau.
"Ada rekomendasi tempat?"
"Angkringan sih mas sekitar sini."
"Nggak apa-apa. Saya kalau ke Jogja juga mampir ke Angkringan Tugu loh."
"Angkringan Tugu ya mas...haha...", kata Airi dengan nada sinis karena Angkringan Tugu memang dikenal sebagai tempat yang sering dikunjungi oleh para artis dan selebriti ibu kota. "Tempat pinggiran mau?"
Sultan tertawa, "Mana aja deh, saya ikut guide kota."
Airi berpikir sebentar, lalu mengajukan pilihannya, "Kalau di warung makan Jepang gimana mas? Di bawah, di belokan samping toko buku itu, ada warung makan Jepang. Mungkin jauh dari yang di restoran Jepang, tapi menurut saya enak banget sih mas."
"Ayuk!" Kata Sultan tanpa berpikir panjang.
Airi bernafas lega. Terus terang saja, dia tak pernah memimpikan akan bertemu dengan idolanya dengan cara seperti ini.
"Ngomong-ngomong, saya besok manggung di SGM, mbak kalau ada waktu datang ya...", kata Sultan mengundang Airi sembari mereka berjalan menyeberangi jembatan ke sisi sebelahnya.
"Yah mas, saya sih mau-mau aja , apalagi yang ngundang artisnya langsung," kata Airi sambil tersenyum lebar, "...tapi, saya sudah keburu ngambil 2 shift jaga warnet besok."
"Yaaah, minta ganti temannya gitu mbak. Saya kasih tiket VIP deh.", rayu Sultan disambut tertawa bahagia Airi.
"Yah mas...masalahnya teman-teman saya minta ganti karena pada mau nonton mas Sultan itu. Gimana lagi mas? Uang lebih penting buat saya daripada mas, maaf ya..."
Sultan tertawa lepas hingga terbahak-bahak, "Yah...ternyata saya cuma segitu di mata mbak."
Keduanya tertawa bersama sembari menuruni tangga.
"Saya nonton kalau sudah diunggah di Youtube saja deh. Di warnet kan nggak buffering kalau shift pagi, gratis lagi hehe."
Sultan melirik ke arah Airi. Mempelajari bahwa ada dunia lain yang berbeda dari dunia yang selama ini dia tahu. Dalam hatinya timbul pertanyaan, apa yang menjadi titik kebahagiaan orang seperti gadis yang dia temui ini? Sultan memang tidak mengenalnya, namun gurat nasibnya tergambar jelas dari caranya memandang kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman Tiga Puluh
RomanceSultan Syah Damara, 31, seorang pekerja di bidang entertainment. Memutuskan untuk berhenti sejenak dari dunia yang membesarkan namanya. Melarikan diri ke Jepang untuk melupakan sejenak penat kehidupan glamor yang dijalaninya. Pertemuannya dengan Air...