"Rasanya biasa saja. Tidak ada yang istimewa.....", kata Airi sembari memalingkan wajahnya ke arah Sultan, "....hanya saja..."
Kalimat Airi yang menggantung tidak dipertanyakan Sultan. Entah atas dorongan apa, dia sabar menunggu Airi menyelesaikan kalimatnya disela-sela tangisan anak kecil dari arah depan. Sementara itu, suara pengumuman dari kereta yang akan melewati Shizuoka Station dengan begitu saja ikut menjadi jeda.
"...hanya saja, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa hidup menjadi lebih mudah ketika menginjak usia 30. Bukan dari segi finansial, -----itu juga, tapi lebih kepada mental. Yang saya rasakan adalah mental saya menjadi lebih stabil meskipun saya sedang berhadapan dengan masalah besar. Dulu saya putus dengan pacar bisa berfikiran untuk bunuh diri, tapi sekarang, ya sudahlah, memang belum jodohnya, mau bagaimana? Atau ketika penelitian sedang tidak membuahkan hasil, dulu saya bisa menangis berhari-hari mengurung diri di kamar dan tidak berangkat ke kampus, namun sekarang ya sudah tinggal diulang lagi, diulang lagi." Kata Airi melanjutkan sembari sesekali tertawa dalam di sela kalimatnya.
"Mbak pernah mengalami depresi?", tanya Sultan yang terbersit rasa tidak percaya.
Airi tersenyum di depannya. Membuat Sultan berkedip tanpa menutup matanya.
"Saya rasa, setiap orang pasti pernah mengalami depresi, Mas. Hanya saja, kadang orang tidak tahu bahwa dirinya terkena depresi."
Sultan tersenyum dengan penuturan Airi. Sudah lama dirinya tidak melakukan percakapan dengan orang asing sedemikian menariknya.
"Mas dari tadi mendengar ada anak kecil menangis kan?"
"Iya...kenapa mbak?"
"Anak itu ada di 2 bangku di depan kita. Kakaknya menderita gangguan mental, autis. Sedangkan anak yang menangis duduk bersama ibunya di tengah. Ibunya harus bolak balik mengurus si kakak dan adiknya. Sedangkan ayahnya, duduk di pojok, saya rasa berkutat dengan ponselnya. Saya berani bertaruh, si ibu pasti mengalami depresi berat."
"Bagaimana mbak bisa tahu?"
Airi meringis, "Kebetulan mereka ada di depan saya waktu menunggu kereta tadi. Saya kasihan melihat si ibu yang kerepotan sedangkan ayahnya, hanya mengurus dirinya sendiri. Ini baru satu bingkai, bagaimana dalam kehidupan sehari-hari? Kalau saya jadi dia, saya sudah mengalami depresi akut. Minta cerai, atau kabur meninggalkan rumah. Tapi kenapa dia masih bertahan, saya pikir pertama karena faktor usia ibu yang mungkin sudah di atas 35, atau 40. Saya bisa pede menebaknya."
Sultan sedikit menaikkan badannya, berusaha melihat ke arah yang dimaksudkan oleh Airi. Namun Airi memukul perutnya.
"Aduh!!", teriak Sultan kesakitan.
"Jangan diliatin donk mas!!!"
"Habisnya saya penasaran, mbak. Biar ada gambaran."
"Iya tapi jangan kayak gitu."
"Yaudah, saya pura-pura ke toilet deh."
Airi tak bisa mencegah Sultan yang penasaran. Dibiarkannya Sultan melewatinya dan berjalan menuju ke toilet sembari kepalanya menengok ke deretan kursi sebelah. Lalu kembali dengan cepat sembari masih menengok ke arah yang sama. Airi hanya bisa tertawa geli melihat tingkah konyol Sultan.
"Ok mbak, saya sudah melihat keluarganya. Dan betul kata mbak, bapaknya hanya menyentuh iPad saja."
"Itulah bedanya laki sama perempuan mas kalau sudah berumah tangga."
Sultan mengernyitkan dahinya.
"Perempuan kalau sudah di atas 30 tahun, dia akan menjadi lebih stabil. Saya sendiri merasakan perubahan dalam diri, menjadi lebih.......ya sudahlah.....begitu."
"Pasrah?"
Airi mengangguk.
"Mungkin itu yang dirasakan oleh si Ibu. Mau gimana lagi? Ada dua anak yang harus diurus. Tidak mungkin dia meninggalkan mereka dan bersenang-senang, kan?"
"Tapi bapaknya? Bukankah juga setidaknya usianya sama?"
"Nah!!!! Itu tadi yang saya bilang, bedanya. Saya melihat di sekeliling, ada banyak sekali bapak-bapak yang justru berubah menjadi acuh setelah mereka mempunyai anak. Masih bayi oke lah, masih perhatian, tapi setelah anaknya sedikit tumbuh besar, banyak yang saya lihat justru malah cenderung berkutat dengan dirinya sendiri. Dalam hal mengurus anak ya, bukan menafkahi."
"Tapi nggak semua juga seperti itu, mbak."
"Iya, nggak semua, kebetulan saya banyak menjumpai yang seperti itu."
"Usia 30 ya, biasanya mereka juga sudah stabil dalam karir."
"Betul, atau baru mendapatkan promosi pertama. Mereka akan lebih fokus ke dalam pekerjaan, dengan dalih bahwa promosi di tempat kerja akan meningkatkan gaji mereka. Semakin banyak gaji yang diterima, semakin makmur pula keluarganya. Jadi, tugas mereka adalah mencari nafkah. Soal mengurus anak, diserahkan sepenuhnya pada istrinya."
"Tanpa disadari, beban sang istri menjadi semakin berat. Si bapak pulang kerja udah capek, pengennya istirahat dan melakukan hobinya, si ibu nggak ada tempat berbagi. Jadinya depresi."
"Nah betul begitu, Mas."
"Benar juga ya mbak......"
Airi tersenyum, menatapnya lekat sembari sedikit mencondongkan tubuh ke arahnya. Aroma floral musky parfum Airi tercium semakin kuat. Membuat jantung Sultan berdetak sedikit lebih kencang.
"Mas Sultan.......jangan-jangan ini sedang melarikan diri dari depresi?"
Sultan tidak menjawab. Dia hanya tersenyum.
"Karena nggak mau jadi kepala tiga?"
Sultan tertawa, "Nggak lah mbak. Kita nggak bisa memundurkan umur juga."
"Hmmm??"
Sultan mengangguk-anggukkan kepalanya tanda menyerah dengan desakan Airi.
"Iya, betul, saya memang beberapa waktu terakhir ini dinyatakan menderita kecemasan berlebih, depresi, frustasi. Makanya saya lari sebentar untuk menikmati hidup saya sendiri."
Ada jeda panjang yang Airi tak bisa memasukinya. Dia hanya menunggu Sultan yang tengah memalingkan muka memandang jauh ke luar jendela.
Curhatan penulis:
Akhirnya...MUIN I-4 sudah selesai juga. Ada sedikit waktu untuk melanjutkan cerita Airi dan Sultan. Minggu lalu dikabari sensei, paper saya sudah diterima dan akan dipublikasikan akhir tahun ini. Alhamdulillah yaaaa. Terus langsung saja deh, saya disuruh bikin lagi. Kata sensei, publikasi harus konsisten tiap tahun meski sedang terjeda maternity leave atau kerja serabutan kayak saya. Stress ya, sensei. Tapi ya sudahlah, saya nggak mau membantah omongan sensei, takut kualat.
Anyway, terima kasih banyak untuk semua yang sudah menunggu kelanjutan cerita Airi dan Sultan yang masih di dalam Shinkanzen. Percayalah, 1.5 jam naik Shinkanzen itu banyak sekali percakapan yang bisa dibahas. Nggak percaya? Cobain deh, naik shinkanzen bareng temen atau pasangan, tapi nggak usah saling membuka hape. Maka kisah Airi dan Sultan pasti akan terasa.
Jadi, tungguin update selanjutnya yaaa..
With love,
Ai
14 Oktober 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman Tiga Puluh
RomanceSultan Syah Damara, 31, seorang pekerja di bidang entertainment. Memutuskan untuk berhenti sejenak dari dunia yang membesarkan namanya. Melarikan diri ke Jepang untuk melupakan sejenak penat kehidupan glamor yang dijalaninya. Pertemuannya dengan Air...