Dentuman roda pesawat yang menapak ke jalan membangunkan Sultan dari tidurnya. Terdengar sayup-sayup lagu patriotik yang menandakan bahwa dirinya telah kembali ke tanah air. Kali ini, tidak ada wajah yang dilihatnay selama beberapa hari saat dia membuak mata.
"Rasanya mimpi kah?", gumamnya pelan sambil mendengus senyuman kecil.
Langkahnya gontai. Seakan separuh nyawanya tertinggal. Rasanya enggan untuk meninggalkan mimpi yang membuainya hingga tadi pagi. Sekarang yang ingin dia lakukan adalah cepat kembali ke rumah dan berbaring. Dipanggilnya taksi sekenanya lalu pulang.
Sultan membenci rutinitasnya yang sangat sibuk. Dan tepat seperti dugaannya, belum juga dia bisa menghempaskan badannya ke Sofa, Bobby sudah menunggu di ruang tamu untuk memberikan penjelasan mengenai pekerjaannya besok pagi.
"Gue jemput jam setengah 5 ya bro, kita harus sampai di studio jam 7, jadi biar nggak macet."
"Oke!", jawab Sultan singkat sambil membawa tas ranselnya ke dalam kamar.
"Jangan lupa cukur jenggot"
"Iya, bawel!"
Jam dinding yang berdetak hampir menunjukkan pukul 12 malam. Briefing memang tidak pernah bisa selesai dalam waktu singkat seperti istilahnya. Sultan menghela nafas. Yang ditakutkannya adalah dia akan segera melupakan Airi seiring dengan terpejamnya mata.
Dan benar saja, hari demi hari dilaluinya dengan pekerjaan yang menanti. Usai satu, lalu berpindah ke yang lain. Memori tentang Airi tersimpan rapi di dalam agenda dan kamera yang tersimpan di dalam tasnya.
Sudah 3 tahun belakangan ini Sultan terserang short-term memory loss. Dia tidak bisa mengingat tentang apapun yang tidak ada di sekelilingnya setiap hari. Barang, orang, peristiwa, apapun itu. Depresi adalah salah satu sebab yang memicunya menghadapi penyakit ini. Dan karena inilah, dia semakin depresi. Inilah yang menyebabkannya tak lagi bermain film dengan baik. Karena kemampuannya untuk menghafal dialog semakin memburuk.
Keberangkatannya ke Jepang adalah dalam rangka untuk menjernihkan pikirannya. Dengan harapan dia akan sembuh. Atau setidaknya membaik. Namun, di hari terakhir kebersamaannya dengan Airi membuatnya gugup. Sultan khawatir jika dia akan melupakan Airi. Karenanya dia memohon pada wanita itu untuk meninggalkan nomor handphone, dan apapun tentangnya. Sayangnya Sultan tidak memberikan penjelasan. Dan Airi masih terlalu naif untuk bermain dengan takdir yang dipercayainya.
Airi tak meninggalkan apapun kecuali sebuah nomor telepon yang dicatatkannya secara diam-diam di dalam buku agenda Sultan. tentu saja, Sultan tak menyadarinya. Satu-satunya yang Sultan punya adalah foto-foto Airi yang diambilnya diam-diam di setiap kesempatan. Sialnya, bahkan untuk mengeluarkan kamera itu dari tasnya, Sultan tak punya waktu. Lalu, sedikit demi sedikit terlupakan.
Bukan salah siapa, namun beginilah takdir yang dijalani. Kepercayaan diri Airi di seberang tergoyah karena tak kunung jua menerima kabar. Ditambah kehamilan yang tak terduga membuatnya kebingungan untuk mengambil langkah. Sedangkan Sultan, di bawah kekurangannya, membiarkan Maria Rosa menggerus sisa memori yang tersimpan. Keberadaan Maria Rosa baginya adalah selayaknya obat yang membuatnya keadaannya lebih baik.
Maria memang dengan sabar mengingatkan Sultan untuk hal apapun, sedetail itu. Namun, bukan berarti dia tidak mengetahui tentang Airi yang mengirimkan pesan ke akun media sosial Sultan. Adalah Maria yang pertama kali membacanya di tengah dia menunggu Sultan di backstage, di salah satu acara milik satu stasiun TV nasional.
Mas Sultan, apa kabar? Masih ingat saya? Kita bertemu di Tokyo, Takayama dan Kyoto. Lama saya menunggu kabar dari Mas, tapi mungkin Mas langsung sibuk banget. Mmm...saya bingung mau gimana ngomongnya, tapi...yachatta....Mas.. Saya rasa, saya hamil.
Maria yang saat itu diam-diam membuka media sosial milik Sultan dibuat terkejut oleh pesan Airi. Kecemburuannya memuncak. Keringat dingin mulai mengalir. Maria tak berfikir panjang, saat itu juga, yang dia lakukan adalah memblok semua akun milik Airi pada akun media sosial Sultan. Rasa cemburunya tak mengijinkan Sultan terambil oleh orang asing yang dia pun tak mengenalnya. Maria berfikir bahwa Airi adalah seorang fans ekstrim yang mengada-ada. Tak menyangka dirinya bahwa Airi di seberang menunggu balasan dengan putus asa.
Sementara perut Airi semakin terlihat menonjol. Stress yang dihadapinya membuat kesehatannya melemah. Dia tak bisa lagi banyak melakukan kerja sambilan seperti biasanya. Airi pada akhirnya tahu bahwa dia tak bisa menghubungi Sultan. Kegalauannya kembali antara membiarkan hal ini begitu saja, atau pergi menemui Sultan untuk memberi tahu. Namun, lagi-lagi uang menjadi kendala baginya. Beruntung, ada teman yang membantunya meminjamkan uang untuknya pergi menemu Sultan.
Sultan tak pernah tahu. Dia hidup dalam keadaan seperti biasanya. Bekerja seperti adanya. Dan Maria menyembunyikan hal itu untuk dirinya sendiri. Membuatnya lebih memperlihatkan perhatian dan cintanya untuk Sultan. Meskipun dirinya sendiri tahu bahwa keduanya terganjal akan jarak umur yang sangat jauh.
Sayangnya, Airi menuliskan pesan kepada manajer Sultan, Bobby, untuk menemuinya. Yang saat itu, Bobby sedang bersama dengan Maria Rosa. Sontak saja Maria langsung melarang Bobby dengan mengatakan bahwa Airi sudah melakukan teror kepada Sultan sebelumnya di semua media sosial. Tentu saja, Bobby lebih memercayai Maria Rosa. Pada akhirnya, Airi ditolaknya mentah-mentah.
Kali pertama saat kandungan Airi masih dibawah empat minggu, Bobby menuduhnya berbohong. Lalu Airi datang kembali saat kehamilannya berusia 5 bulan dengan perut yang sudha menonjol. Namun Bobby justru menawarkan sejumlah uang agar Airi menggugurkannya dan tidak menemui Sultan lagi atas saran dari Maria Rosa. Airi marah. Namun dia tersadar akan dirinya sendiri. Semenjak itu, Airi menyerah untuk menemui Sultan.
Padahal Airi tak pernah ingin berharap untuk dinikahi. Dia hanya ingin memberitahu bahwa itu adalah anaknya. Darah dagingnya. Namun, jika memang tidak takdirnya untuk Sultan mengetahui tentang itu, dia menyerah. membiarkan anak-anaknya hanya tahu dari ceritanya saja. Dia tak keberatan dengan itu. Airi sudah terbiasa hidup dalam pembuangan dan pengabaian. Untuk sekali lagi terabaikan, baginya tak menjadi masalah baru.
Catatan penulis:
Mohon maaf atas kelamaan saya mengupdate. Untuk part 1 ini sampai di sini dulu yaa. Sampai jumpa di part 2. Maaf banget ya teman-teman, kemarin saya ketiduran hehe jadi baru sempat mengunggah part 1 ini. Semoga berkenan untuk menikmatinya.
Sehat-sehat ya teman-teman di tengah pandemi ini.
Salam sayang.
Ai
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman Tiga Puluh
RomanceSultan Syah Damara, 31, seorang pekerja di bidang entertainment. Memutuskan untuk berhenti sejenak dari dunia yang membesarkan namanya. Melarikan diri ke Jepang untuk melupakan sejenak penat kehidupan glamor yang dijalaninya. Pertemuannya dengan Air...