"Oh! Jadi kamu yang menghamili anak sialan itu? Baguslah, silakan kalian bawa dia. Di sini hanya bikin malu saja dari dulu!!" seru Darsih, Ibu Airi, dengan beranjak berdiri dari tempat duduknya segera setelah keluarga Sultan menyampaikan maksud kedatangan mereka.
Tentu saja para tamu kaget. Semarah itukah orang tua Airi hingga mampu berujar seperti itu. Luna yang juga ikut berada di sana mengantar Sultan dan keluarganya mulai merasa mengerti mengapa selama ini Airi selalu enggan berbicara tentang keluarganya.
"Mama diam! Masuk ke dalam!", sentak Wikrama, ayah Airi.
"Sudah kubilang kan anak itu selalu membawa sial di keluarga ini!", teriak Darsih pada suaminya.
"Mama! Cukup! Kalau marah, lampiaskan ke Papa! Jangan Airi." Wikrama bergetar memandangi istrinya. Yota, kakak Airi yang ada di sana hanya bisa duduk mematung memandang kedua orang tuanya yang bertengkar. Ada reaksi kaget yang terpancar ketika mendengar ayahnya berteriak seperti itu.
Wikrama kembali bergetar namun mulai melunakkan kalimatnya. "Sudah cukup lama Papa bersabar dengan ini. Kita seharusnya bisa menjadi keluarga yang lebih mengayomi Airi kalau Mama bisa belajar untuk melepas dendam."
"Papa sudah berani bicara seperti ini sama Mama hanya demi anak sialan itu?!" Darsih mulai menantang, namun Wikrama tak bergeming.
"Masuk!", serunya sambil menunjukkan tangannya ke arah dalam. "Yota, bawa Mamamu masuk ke dalam!" perintahnya pada putranya tegas.
"Nggih, Pa", kata Yota lalu beranjak dan membawa ke dalam sembari menenangkan Mamanya yang masih melampiaskan amarah.
"Mohon maafkan ketidaknyamanan ini.", kata Wikrama berpaling pada para tamu yang datang ke rumahnya. "Saya selaku ayahnya Airi, sudah memaafkan mas Bobby. Memaafkan dan menerima Mas Sultan. Dan saya menghargai kedatangan Mas Sultan dan keluarga untuk bertanggung jawab. Saya merestui apabila Mas Sultan memang berniat untuk menikahi putri saya."
Wikrama menghentikan perkataannya untuk menarik nafas dan menundukkan kepalanya sejenak. Lalu berpaling pada orang tua Sultan. "Tapi saya mohon dengan sangat pada bapak dan ibu, untuk bisa menerima Airi dan memperlakukannya seperti anak kandung sendiri. Sesuatu yang kami tidak pernah bisa berikan padanya."
Mata pria tua itu berkaca-kaca. Ayah Sultan menepukkan tangannya ke bahu ayah Airi, sambil berujar, "Kami akan menyayangi Airi seperti anak kami sendiri, Pak. Bapak jangan khawatir mengenai hal itu. Kami berterima kasih atas ijin yang Bapak berikan."
Wikrama tersenyum lega. Seakan melepas beban terberat dalam hidupnya. Dirinya berpesan pada Sultan untuk benar-benar menjaga putrinya dengan baik. "Bahagia, itu yang paling saya mohon untuk dia."
Dalam perjalanan pulang kembali ke hotel tempat mereka menginap, Sultan masih merenungi apa yang baru saja terjadi di rumah Airi. Ada banyak sekali tanda tanya yang mengelilingi pikirannya. Luna yang duduk di sebelah Ibu Sultan pun merasakan hal yang sama. Dia lebih gelisah.
Seolah melihat kegelisahan putranya dan Luna di sebelahnya, Ibu Sultan memecah keheningan di dalam mobil. "Nak Luna kenal dekat dengan Airi?"
"Iya, tante."
"Berarti tahu tentang hubungan Airi dan Mamanya?"
"Enggak, tante. Airi itu orangnya kadang terbuka, kadang tertutup untuk sesuatu hal pribadinya. Dia tidak pernah bercerita tentang keluarga, bahkan kesannya menghindari pembicaraan tentang keluarga. Tapi dia selalu menjawab - keluarga alhamdulillah sehat-sehat, kak - , begitu setiap kali saya tanya apa kabar ayah ibu, gitu."
"Mamanya sepertinya sangat membenci dia."
"Iya, tante. Saya pun kaget. Tapi jadi ngerti kenapa selama ini dia nggak pernah ngomongin soal keluarga. Nggak pernah unggah foto Mamanya juga seperti teman lainnya. Saya sendiri nggak berani nanya, tante, kalau Airinya nggak cerita. Tapi sepertinya hubungannya tidak begitu baik."
Ibu Sultan mengangguk-anggukkan kepalanya, mencoba menggali lebih dalam mengenai wanita yang kini sedang dikejar oleh putranya. "Kalau dengan saudaranya?"
"Eee, sama mas Yota saya kurang tahu, saya malah baru tahu Airi punya kakak laki-laki. Saya hanya kenal dengan Megumi, adiknya. Dia kuliah di Jakarta, kebetulan kosnya sempat satu kompleks dengan kosannya Mega, tante. Airi dan Megumi cukup dekat menurut saya."
"Oh, Mega kenal?"
"Kenal tapi nggak dekat."
"Megumi juga sinis dengan kakaknya?"
"Saya rasa enggak sih, tante. Bertengkar kecil sih wajar, tapi setahu saya nggak pernah sampai sinis atau benci. Kalau pas di Jakarta, Airi selalu tinggal di tempat Megumi. Padahal selalu saya tawarin nginap di tempat kami. Tapi nggak pernah mau."
"Oh...syukurlah kalau ada yang dekat, ya. Tante nggak kebayang seperti apa masa-masa dia tinggal di sana. Kalau melihat reaksi Mamanya seperti tadi, itu seperti sinetronnya Sultan tapi nyata."
"Om, terima kasih tadi bersedia untuk menerima Airi.", Kata Luna pada ayah Airi yang duduk di bangku depan disamping Bobby yang menyetir.
"Sudah jadi kewajiban kami, Luna, untuk juga menyayangi pasangan dari anak-anak kami.", katanya sambil tersenyum.
Sultan masih terdiam. Gejolak dalam pikirannya memberatkan mulutnya untuk bersuara. Pandangannya tertuju ke luar. Tapi pikirannya melayang jauh. Dia mulai mengingat satu demi satu perbincangannya dengan Airi. Pria itu mulai memahami arti kalimat demi kalimat yang penuh dengan makna ambigu darinya. Wanita itu rupanya memandang kehidupan baginya itu berat. Namun dia berusaha sekuat tenaga untuk menerimanya dengan ikhlas. Sultan mulai mengerti bahwa hanya satu yang Airi cari, bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman Tiga Puluh
RomanceSultan Syah Damara, 31, seorang pekerja di bidang entertainment. Memutuskan untuk berhenti sejenak dari dunia yang membesarkan namanya. Melarikan diri ke Jepang untuk melupakan sejenak penat kehidupan glamor yang dijalaninya. Pertemuannya dengan Air...