"Hei!", suara di seberang, seseorang yang menelepon Airi.
"Hei, tumben pagi-pagi telpon?"
"Nggak, kepikiran aja. Gimana kemarin ketemu Sultan?"
"Mmmm......"
"Dia ngajakin nikah?", suaranya bergetar.
"He-em."
"Aaaahh...yappari ne!" (Aaaahhh...tentunya ya!)
Airi terkekeh.
"Jadi? Nikah nih?"
"U-un," kata Airi sembari menggelengkan kepalanya pelan dan tersenyum, "aku tolak.", tukasnya.
"Maji ka yo?!" (Yang benar saja?!)
Airi tertawa, "Beneran. Kan aku udah bilang pas kita ketemu kemarin."
"Uh....iya sih. Tapi nggak nyangka kamu betul-betul menolaknya.", kata suara di seberang yang lantas mengingat pertemuan mereka beberapa jam sebelum Airi bertemu Sultan di restoran tempo lalu.
"Hei, makasih udah nyempetin ketemu di sela-sela kerja.", kata Airi waktu itu dengan gaya centil khasnya yang tak berubah di matanya.
"Untung aja lagi nggak ada meeting fakultas loh ini, khusus buat tuan putri yang rela ninggalin bayinya cuma buat ngejar ketemu bapaknya ke Jakarta. Ugh!", katanya sembari menyilangkan tangan dan memutar bola matanya.
"Nggak usah emosi begitu donk.", katanya sembari cengengesan.
"Nde? Nani shini au no?" (Terus? Mau ngapain ketemu?)
"Kangen lah, nggak ketemu berapa lama kita? Sejak pulang dari Jepang, aku kesepian nggak ada yang nemenin makan donat."
"Airi, kamu nggak makan donat itu sejak hamil ya, udah dua tahun lalu loh. Kamu lahiran yang nungguin siapa? Baru juga nggak ketemu enam bulan kita."
Airi tersenyum memamerkan giginya yang berjajar rapi. Lalu menghela nafas panjang dan merubah posisi duduknya.
"Jadi, bulan lalu kan aku dapat bonus nih, terus sama saving gaji bulan-bulan sebelumnya, akhirnya kekumpul 150 ribu yen pas. Ini buat bayar utang aku yang pas buat lahiran sama deposito apartemen. Makasiiih banget udah mau, selalu bantuin aku pas nggak ada yang mau peduli."
Mata Airi berembun.
"Hei....everything will be fine. Kamu nggak usah buru-buru balikin ini. Butuh kamu masih banyak. Kamu pasti nitipin anak-anak kan? Itu juga mahal. Seminggu lho Ai, paling nggak dua puluh ribu yen kan kamu harus bayar?"
Namun Airi bersikeras untuk mengembalikannya. "Nggak, aku kembaliin dulu. nanti aku bisa kan ngutang lagi?"
Pria di hadapannya itu tersenyum lebar sembari mengulum bibirnya, "Iya boleh.", jawabnya sembari mengangguk lembut.
Airi kembali tersenyum dan menundukkan pandangannya.
"Jadi, kamu serius mau temui Sultan? Udah bikin janji? Yakin nggak akan diusir sama manajernya atau kakaknya lagi?"
Sembari menghela nafas, Airi berbicara dengan setengah berbisik, "Aku gambling hari ini. Kak Luna pernah cerita kalo ada restoran yang sering jadi tempat nongkrong artis-artis. Termasuk genk-nya Sultan. Hari ini aku mau nyobain ke sana. Kalau kita ada jodoh, aku pasti akan ketemu dia."
"Kalau ternyata enggak?"
"Aku nyerah. Nggak akan pernah lagi memaksakan diriku untuk menemuinya. Biar aku jaga ini sebagai rahasia hidupku aja."
Pria itu menatap nanar Airi yang masih kembali berkaca-kaca. Dia paham betul apa yang dialami sahabatnya itu. Pria itu yang membantunya pindahan, yang mengantarnya periksa dan selalu mengecek keadaan Airi tanpa diminta.
Dia yang ada ketika Airi meregang nyawa kehabisan darah seusai melahirkan. Dia adalah orang yang bersedia membagi darahnya untuk Airi yang bergolongan darah sama. Dia yang menunggui Airi ketika di rumah sakit sebelum Luna datang dan menggantikannya. Dan dia bahkan yang membayarkan biaya persalinan yang lebih mahal dari bantuan pemerintah yang diterima karena Airi harus mengalami masa kritis dan membutuhkan perawatan lebih intensif. Dan dialah juga yang mengadzani kedua anak kembar Airi. Yang juga meneteskan air mata bahagia ketika melihat kedua bayi Airi lahir.
Tidak ada seorang pun selain mereka yang menemani Airi saat itu.
"Kamu mau ngomong apa kalau ketemu dia?"
Airi terdiam sejenak sebelum menjawab. Menghela nafas sangat panjang dan menatap ke arah luar jendela cafe tempat mereka bertemu.
"Aku nggak minta banyak. Aku cuma ingin ngabarin, nunjukin foto Ayuma Ayato sama dia. Aku nggak minta dinikahi, karena aku pun nggak akan mampu hidup dalam tatapan kebencian sekali lagi. Pun kalau misalkan Sultan ingat aku, belum tentu dia mencintai aku kan? Aku selalu ngikutin berita. Setiap video kebersamaannya dengan artis wanita itu. Aku tahu tatapan itu. Dia pernah menatapku seperti itu."
"Kalau kamu salah?"
"Maksudmu?"
"Kalau ternyata dia mengingatmu dan kembali mengingat cintanya padamu, bagaimana?"
Airi terdiam lama.
"Nggak, aku tetap dengan pendirianku. Hidupku saat ini udah lebih dari cukup untuk dikatakan bahagia. Aku udah ada anak-anak yang nggak akan ngasih pandangan sinis, yang pastinya akan sayang sama aku. Itu udah cukup."
"Airi, banyak yang sayang sama kamu. Tolong, berhentilah berfikir kamu nggak disayangi.", pintanya setelah tertegun mendengar isi hati Airi.
Namun Airi hanya menggeleng lemah.
"Setidaknya aku, Kak Luna, sayang kamu!"
"I know.... makasih...makasih banyak."
Keduanya terdiam begitu lama hingga suara klakson bis di jalan menyadarkan keheningan untuk kemudian segera mengucapkan kalimat perpisahan.
"Hei...koq malah diem sih?", tegur Airi setelah lama hening dalam sambungan telepon itu.
"Sorry, sorry lagi mikir tadi. Haaaaah....Airi...Airi....kamu itu nggak berubah keras kepalanya sejak dulu ya."
"You know me so well lah," katanya sembari tersenyum.
"Anyway, apapun keputusanmu, aku cuma bisa mendukung. Mendoakan semoga nanti hidupmu akan lebih baik. Maafin ya, aku nggak ada di sana buat kamu cakar-cakar kayak pas lahiran."
Airi tertawa mengingat hari kelahiran anak-anaknya, "Ya ampun, dokter sama suster-suster sampai ngira kamu suamiku loh itu," kelakar Airi.
"Mana lukanya seminggu lebih nggak ilang lagi. Berdarah-darah aku keluar ruang persalinan. Sensei sampai nanya, apa aku dicakar beruang gitu," kelakar pria itu dengan nada lembut.
"Ya ampun, maafin aku yaaa......", jawab Airi sembari masih terbahak.
"Tapi jadi pengalaman sih buat aku. Begini ya rasanya nemenin istri lahiran." Kelakar pria itu dari seberang.
"Ades.....", panggil Airi pada pemilik suara di seberang.
"Ya..."
"Makasih banyak ya...."
"Buat apa?"
"Untuk semuanya. Semua waktumu yang terbuang buat bantuin aku. Semua uangmu yang kamu relakan untuk kamu pinjamkan. Dan semua perhatianmu kepada anak-anakku. Aku nggak bisa ganti itu semua. Semoga kamu cepat nikah ya. Biar nggak dibilang jomblo tua."
Adesta Mahar Wikanta, pemilik suara di seberang tak mampu lagi menahan tawanya.
"Serius ini doaku!"
"Iyaa bawel! Makasih atas doanya. Airi, kamu nggak perlu ganti apa-apa. Bukankah sahabat itu memang harus seperti itu ya?"
Keduanya tersenyum. Airi tersenyum bahagia. Mungkin hanya dengan Adesta, dia bisa tersenyum selepas ini setelah semua hal yang menimpanya. Kebahagiaannya saat ini adalah berbincang dengannya tentang perkembangan anak-anaknya. Adesta menikmati itu. Menikmati setiap detik kebersamaannya dengan Airi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman Tiga Puluh
RomanceSultan Syah Damara, 31, seorang pekerja di bidang entertainment. Memutuskan untuk berhenti sejenak dari dunia yang membesarkan namanya. Melarikan diri ke Jepang untuk melupakan sejenak penat kehidupan glamor yang dijalaninya. Pertemuannya dengan Air...