Chapter 7 - 02

2.6K 270 4
                                    

Akhirnya.....selesai juga Chapter ini. Masih sangat mentah dan belum banyak edit dan ide, karena pikiran masih ada di erosi tanah hehe. Tapi, semoga bisa menghibur pembaca setia Roman Tiga Puluh.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sultan memacu mobilnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Bahagia karena mendapati dia mempunyai anak dari Airi. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus. Bersalah karena dia tidak pernah ada untuk mendampingi Airi di masa-masa sulitnya. Marah atas apa yang dilakukan oleh manajernya, sekaligus pada dirinya sendiri. Takut akan bagaimana reaksi orang tuanya, dan juga orang tua Airi. Rindu akan sosok Airi. Sultan merasa sangat ingin tahu tentang kedua anaknya. Seperti apa mereka?

Di halaman rumahnya ketika dia memarkir mobil, Sultan meletakkan kepalanya pada steer mobil. Mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan masalahnya pada kedua orang tuanya. Sultan siap, apabila ayahnya memukulnya keras. Sultan pun siap jika ibunya akan pingsan. Bagaimanapun juga, itu adalah perbuatannya. Suka tidak suka, siap tidak siap, cepat atau lambat, Sultan harus menghadapinya.

Dilangkahkan kakinya mantab menuju ke dalam rumah. Didapati ayahnya yangs edang memberi makan ikan koi di kolam samping rumah, sedangkan ibunya sedang menata jajanan pasar di meja makan. Air matanya tak bisa dibendung seketika Sultan melihat ibunya. 

Sultan mempercepat langkah, seketika bersimpuh pada kaki sang ibu. 

"Nak?!", pekik ibunya membuat ayah Sultan menengok ke arah meja makan. 

Ayah Sultan berdiri menghampiri, memandang istrinya dengan tatapan bertanya. Namun wanita itu hanya menggelengkan kepalanya. 

"Duduk nak," perintah ayah Sultan.

"Maafin Sultan, Ma...."

"Duduk dulu nak," kata ayahnya mengulangi perintah.

Ibunya meraih bahu Sultan untuk mengangkatnya, lalu menuntunnya duduk. Sultan duduk di samping sang ibu menghadap pada ayahnya di depan. Namun Sultan masih tak berani memandang mata kedua orang tuanya.

"Ada apa?", tanya ibunya lembut.

Sultan lantas menceritakan semuanya pada kedua orang tuanya dengan masih tidak berani memandang wajah keduanya, terutama sang ayah. Dia tahu, ayahnya adalah orang yang sangat keras. Bagaimana dia bisa berani menghadapi emosi ayahnya ketika tahu bahwa anak laki-laki tertuanya justru malah menghamili dan tidak bertanggungjawab begini.

Namun kali ini, ayahnya hanya diam dan mendengarkan cerita Sultan yang dengan penuh emosi ketakutan. Badan Sultan bergetar. 

"Maafkan Sultan Ma, Pa, Sultan tahu, Sultan bukan anak yang baik bagi Mama dan Papa."

Ibunya memeluk Sultan sembari menangis. Hanya itu emosi yang tersisa dari wanita yang sebentar lagi menginjak usia 60 tahun. Ayahnya terdiam lama. Suasana hening. Hanya suara sesengukan Sultan yang terdengar.  Terasa ketegangan dalam raut wajahnya, namun dia mencoba untuk tetap berfikir jernih. Hingga pada akhirnya ayahnya membuka keheningan antara ketiganya.

"Kamu memang salah. Bagaimanapun juga kamu tetap yang disalahkan. Dan wanita itu..."

"Airi, pa.. Namanya Airi." Potong Sultan.

"Dan Airi juga salah."

Sultan mengangguk. Dia tidak menyangkal. Membenarkan apa yang dikatakan ayahnya karena memang begitulah adanya. 

"Bersetubuh dengan orang yang bukan muhrim itu adalah perbuatan yang salah. Apapun alasannya. Jika kamu memang tertarik padanya, dan kalian sama-sama mempunyai ketertarikan, seharusnya kalian menempuh jalan putusan yang lebih baik. Ada banyak cara untuk dekat tanpa harus melakukan persetubuhan di luar pernikahan."

Roman Tiga PuluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang