Chapter 7 - 01

2.6K 268 4
                                    

"Makasih banyak ya Takahashi sensei sudah bersedia menjaga anak-anak selama ini."

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Lain kali kamu bisa menitipkan mereka di sini. Saya suka mereka. Mereka sangat baik, tidak rewel dan sangat membantu sekali. Anak lain menangis, mereka malah mengelus-elus kepalanya seakan-akan menenangkan."

Airi tersenyum senang mendengar penuturan nyonya Takahashi, pemilik tempat penitipan anak. Dirinya lega mendengar kedua anaknya tidak membuat masalah. Lalu diusap kepala keduanya lembut. 

"Jadi berapa totalnya?"

"Segini, tapi khusus kali ini karena mereka anak baik, saya kasih diskon."

"Eh, koq begitu?"

"Sudah, sudah tidak apa-apa, mereka anak baik, saya menyukai mereka. Jadinya segini saja ya." Kata Nyonya Takahashi sambil menunjukkan hitungan pada kalkulatornya.

"Maaf selalu merepotkan," Kata Airi sembari menyerahkan sejumlah uang yang telah disepakati.

"Tidak apa-apa. Lain kali kalau butuh dititipkan lagi, kamu bisa membawa mereka ke sini kapan saja."

"Terima kasih banyak, Takahashi sensei."

"Mata ne.." Kata Takahashi sensei sembari mengelus kepala si kembar dengan lembut lalu melambaikan tangan seketika Airi menuntun keduanya pelan-pelan ke luar rumah.

"Good job ya kalian...makasih banyak sudah membantu mama untuk tidak rewel." Kata Airi pada kedua anaknya yang disambut senyuman lebar keduanya.

Airi menaikkan Ayuma yang lebih tenang terlebih dahulu ke dalam keranjang anak pada sepedanya yang terletak di belakang. Lalu kemudian menaikkan Ayato pada keranjang depan. Sesaat kemudian dia mengayuh sepedanya pulang ke rumah.

Diturunkannya satu per satu, lalu membuka pintu depan rumah sewanya yang kecil. Rumah sewa yang terdiri dari satu dapur denga ukruan yang tidak begitu besar, kamar mandi, toilet duduk tanpa bidet, lalu dua kamar tidur berukuran kecil dan hanya ada satu AC saja. Sewa kamar yang termasuk murah untuk daerah sekitarnya. 

"Aaah.....tadaima...", kata Airi ketika memasuki kamar mereka yang terdapat AC. Airi lantas memeluk kedua anaknya seketika. Melepas rindu setelah hampir satu minggu meninggalkannya.

Ayato mulai menangis. Mungkin saja rindu akan ibunya. 

"Yash yash....kangen ya sama mama?", kata Airi tertawa melihat Ayato yang sesengukan meletakkan kepalanya dalam pelukan.

"Maaf maaf, terlalu lama ditinggal ya? Nggak papa, mama libur dua hari, nanti kita main bareng ya...", katanya sambil mengangkat kepala Ayato lalu menciuminya. 

Ayuma memeluk Airi, lalu diciumnya kepala Ayuma.

"Ne...dengar baik-baik, kemarin pas di Indonesia, mama ketemu papa loh.", kata Airi bercerita sendiri mengajak ngobrol anak-anaknya.

"Pa..pa...?", kata Ayuma seolah mengerti yang diucapkan Airi.

"Iya, Papa nak. Makin ganteng lho, sama seperti kalian..."

Airi menghentikan ucapannya. Menatap kedua anaknya yang ada di depan. Seketika saja memorinya mengingat tentang keputusan yang membawanya mendapati keduanya. Saat ibunya meminta untuk menggugurkan kandungannya begitu dia mengatakan bahwa dirinya sedang mengandung tanpa suami. 

Airi memutuskan untuk mempertahankan keduanya. Karena hanya itu yang diinginkannya. Airi hanya ingin punya anak. Setelah semua liku hidup yang tak menentu, dirinya hanya ingin merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang dirasakan oelh teman-teman seusianya. Yaitu menjadi ibu. Meskipun itu artinya perjuangannya akan semakin berat karena membesarkan dua orang sendirian. 

Menjadi seorang ibu tanpa pendamping memang tidak mudah. Airi paham sekali itu, namun dirinya telah memilih diantara banyak pilihan lain yang dihadapkan padanya. Airi tahu bahwa dia harus hidup dalam pilihannya. Tidak ada kata menyesal. Meskipun berat.

Airi memandangi wajah keduanya. Kebahagiaan terbesar yang didapatnya. Adalah dunianya yang begitu berharga. Diraih keduanya lalu dipeluknya. 

"I love both of you", bisiknya lirih.

"Yosh!! Habis ini pasti bakal lapar kan? Mama mau masak dulu, kalian main-main ya."

Airi bangkit dari duduknya, lalu meletakkan keduanya pada tempat mereka bermain lalu mengaitkan pagar pembatas agar keduanya tidak pergi jauh kemana-mana. Sesaat kemudian dia berjalan menuju ke dapur lalu membuka kulkas. Airi mulai memasak makanan untuk dirinya dan anak-anaknya. Melupakan semua kesedihan di hatinya. 

Airi sudah memilih untuk hidup dalam pilihannya. Airi memilih untuk menemukan bahagia bersama kedua anaknya. Airi tak perlu apa-apa lagi saat ini. Yang dia inginkan adalah melihat kedua anaknya tumbuh besar dalam kasih sayang. Tanpa harus membedakan keduanya meski sifat mereka sudah menunjukkan perbedaan. Airi menyayangi keduanya, dan itu sudah cukup membuatnya terus berjuang untuk hidup.


--***--


Roman Tiga PuluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang