7

44 7 12
                                    

Yuri sudah berada di dalam kamar Jihoon, matanya fokus pada seseorang yang duduk di atas meja dekat jendela kamar dan menatap keluar.

"kak ji,"panggil Yuri dengan pelan.

Jihoon yang mengenali suara itu pun mengarahkan pandangannya ke sumber suara tersebut sambil turun dari meja.

Jihoon berjalan ke arah Yuri dan memeluknya dengan erat, yang di peluk hanya diam membeku ketika di peluk secara mendadak.

"ri,"lirih Jihoon.

"i-iya kak,"

"kangen,"

Yuri pun hanya bisa tersenyum dan mungkin wajahnya juga memerah, bagaimana bisa Jihoon dan Yuri merasakan rindu secara bersamaan. Takdir?

Yuri yang sama rindunya dengan Jihoon pun membalas pelukan Jihoon, Jihoon pun semakin mengeratkan pelukannya pada Yuri.

Pemandangan itu bisa di bilang wajar karena Yuri juga tidak mendapat kabar apapun dari Jihoon, begitu sebaliknya Jihoon tidak bisa mengabari Yuri dan teman - teman lainnya karena ponselnya disita.

Keduanya pun mulai melepaskan pelukan masing - masing. Yuri memperhatikan setiap inchi wajah Jihoon, begitu banyak bekas luka dan juga lebam.

"kak ini kenapa, kakak abis berantem apa gimana,"ucap Yuri sambil menyentuk dahi Jihoon perlahan.

"nggak kok, ini nggak papa. Sini duduk dulu,"ucap Jihoon sambil mempersilahkan Yuri duduk lesehan di karpet tebal.

"lo kok bisa masuk kesini, gimana caranya,"Jihoon.

"tadinya nggak di bolehin sama-"ucap Yuri sambil berpikir sejenak.

"bi lastri, dia pembantu disini,"Jihoon.

"ah iya itu, tapi ya gitulah kerja sama aja sama bi lastri jadi boleh deh nemuin kakak,"

Jihoon tersenyum manis dengan tingkah dan usaha Yuri untuk menemuinya.

"kak ji lagi ada masalah ya sama papa,"Yuri.

"iya ri, masalahnya masih sama. Tentang masa depan gue yang harus kuliah di fakultas yang sama kayak bang jinhwan dan nerusin perusahaannya,"

Jihoon pun menyenderkan kepalanya di bahu Yuri.

"kali ini papa bener - bener serius ri karna gue kan udah kelas dua belas. Tapi gue mau nya kuliah di fakultas kedokteran dan jadi dokter bedah ri,"

Perlahan air mata yang di tahan sudah tidak bisa di bendung lagi, Jihoon meneteskan air matanya dan menunduk.

Yuri yang mengetahui hal itu pun merangkul Jihoon mengelus bahu lalu kepala Jihoon. Yuri paham betapa rapuhnya hati Jihoon yang cita - citanya di tentang oleh orang tuanya sendiri. Padahal tidak ada yang salah dengan cita - citanya. Yuri pun menyadari satu hal dari Jihoon, seorang Park Jihoon yang terkenal paling ceria, julid, jahil, selalu tersenyum dengan manis juga memiliki sisi rapuhnya. Rasanya Yuri juga ingin menangis karena dia teringat masa lalunya. Namun Yuri harus menahan air matanya, karena dia harus menghibur Jihoon bukan ikut sedih juga.

"kak, gue percaya pasti nanti ada jalan buat lo buktiin kalo lo bisa sukses di jalan sendiri. Tapi inget kak, lo harus dapat restu dari papa karena biar begitu, beliau adalah orang tua lo satu - satunya. Mau sesulit apapun mendapat restu itu, lo harus berusaha. Karena segala sesuatu yang di lakukan tanpa restu dari orang tua akan jadi celaka untuk diri sendiri,"ucap Yuri sambil terus mengelus bahu Jihoon.

"iya ri gue bakalan terus berusaha supaya papa percaya sama cita - cita dan jalan gue kedepannya. Makasih ya, lo mau hibur gue,"ucap Jihoon sambil menatap Yuri dengan lembut.

LONG LOVE WITH PARK JIHOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang