Memutuskan untuk menaiki lift hingga sampai ke lantai lima belas dari gedung berlantai dua puluh itu. Aku berjalan sendirian, tentu saja. Sebab, aku tidak memiliki teman untuk kuajak jalan-jalan. Masa iya, pergi menghibur diri pun masih harus ditemani mama, yang padahal usiaku hampir memasuki ke-dua puluh dua tahun.
Orang-orang yang sepantaran denganku, seharusnya sudah pergi menggandeng kekasihnya, bukan? Atau setidaknya bersenang-senang membawa teman-teman untuk nongkrong di tempat hiburan seperti; karaoke, warung makan, atau tempat rekreasi lainnya. Tapi, aku justru hanya seorang diri.
Entah, ini harus kunamakan menghibur diri atau bukan.
Mengingat kesendirianku yang terlalu lama, jadi ingat perkataan mama yang sering kali diucapkannya padaku.
"Ma, teman-teman Lia kebanyakan sudah punya pacar dan bahkan ada juga yang sudah punya anak. Kenapa mereka bisa memilih untuk memutuskan hal itu seenak jidat, ya? Memang, mereka nggak berpikir kehidupan yang akan datang, mau seperti apa?"
Setiap aku bertemu dan melihat kehidupan teman-teman masa sekolahku yang sekarang, selalu membuatku berpikir begitu. Memang, apa enaknya menikah muda?
"Ya mudah saja. Tinggal menikah, hamil, ya punya anak. Apa masalahnya nikah muda? Sudah tamat sekolah, perempuan mau apa lagi? Ya menikah, lah. Temanmu saja malah ada yang sudah punya anak sebelum tamat sekolah, kan? Hidupnya, ya begitu saja. Ngurus anak, ngurus suami, boleh bekerja kalau suaminya mengizinkan, selesai."
Intinya, hanya itu jawaban yang Mama katakan jika aku membahas tentang kehidupan teman-teman masa sekolahku.
Hm, dulu sebelum tamat sekolah, aku tidak terlalu memikirkan bahwa; mengapa tidak ada setidaknya satu laki-laki yang ingin dekat denganku? Okelah, waktu itu aku masih ingin fokus untuk menyelesaikan studi-ku dulu. Namun semakin beranjak dewasa, usiaku juga semakin bertambah pastinya. Tetapi, pertanyaan itu sempat terngiang kembali di kepalaku.
Sering aku membaca, menonton, mendengarkan cerita, bahkan melihat story instagram teman-temanku yang kebanyakan telah memposting kebersamaannya dengan kekasih mereka. Apa hidupku yang terlalu banyak berkhayal karena kebanyakan menulis dan membaca cerita romantis di novel-novel? Huh! Bahkan, keahlianku saja hanya bisa membuat cerita romantis, namun kehidupan sebenarnya sangatlah jauh berbeda dengan kehidupan asliku yang begitu membosankan.
Teman saja, aku tidak punya. Satu pun, mereka tidak ada yang dekat denganku. Jelas saja, karena aku membosankan membuat mereka jadi lebih tertarik berteman dengan orang lain. Lantas, bagaimana bisa memiliki pacar? Sungguh, membayangkan saja aku tidak bisa jika suatu hari nanti bagaimana jadinya diriku bertemu dan berkenalan dengan seorang pria.
Trauma masa lalu, mungkin. Inilah alasanku mengapa enggan bersikap terbuka, alias tak lagi mudah menyesuaikan diri dengan orang-orang yang baru kukenali. Apa iya, ada orang yang memiliki trauma berinteraksi sepertiku, ya? Maka dari itu, aku tidak tahu lagi bagaimana bisa berkenalan dengan seorang pria, apalagi memiliki kekasih?
Orang bilang, salah satu hal yang terpenting dalam menjalin sebuah hubungan adalah komunikasi, bukan? But, I can't do it! Aku tidak bisa melakukan itu. Sulit bagiku. Lantas, kenapa aku masih berangan memiliki kekasih? Sadar, Lia! Jangan kebanyakan berharap-dirimu jangan berharap memiliki kekasih jika kamu saja belum juga merubah diri sendiri.
"Makanya, sekali-kali keluar, Lia. Biar bertemu banyak orang. Siapa tau, bisa bertemu dan kenalan dengan laki-laki. Jangan cuma ke sekolah, lalu pulang ke rumah. Anak bujang, mana ada di sekolah TK? Kalau bocah laki-laki, ya banyak di sana. Toh, kamu saja tiap hari bertemunya hanya sama anak-anak. Di rumah juga, Lia hanya menulis terus di kamar. Yah, bagaimana mau bertemu jodoh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BTS (ONE-SHOOT)
FanfictionBeberapa rangkaian cerita yang sekali habis. Banyak ide, tapi cuma mampu bikin yang sekali end aja. But, happy Reading. Aku menyediakan beberapa variasi cerita disini. Semoga suka. (p.s : untuk cast, bisa diketahui dari cover yang sudah disediakan d...