"My Cupid"

23 2 0
                                    

Aku menatap daun-daun kering yang berjatuhan dari atas pohon itu. Beberapa jenis bunga yang tidak kuketahui namanya juga telah banyak berserakan di sepanjang jalan, karena mengingat saat ini telah memasuki musim gugur. Angin berembus kencang, membuat helaian rambutku menjadi berantakan yang awalnya kubiarkan terurai.

Jimin yang melihat itu langsung sigap merapikan rambutku kembali. Tatapan kami bertemu. Tapi, tak lama setelah itu ... Jimin tersenyum dan mengusap kepalaku dengan manja. Dia tahu kalau aku sedang emosi. Sepertinya, dia berusaha menenangkanku yang sejak tadi marah-marah sendiri karena melihat sepasang kekasih yang sedang bermesraan di sana.

"Aduh! Apa sih, tanganmu! Lepas, tidak! Aku lagi marah, nih."

Aku menjauhkan tangan Jimin secara kasar. Namun, dia hanya menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Kacau deh, kalau cemburunya sudah kumat. Aku juga yang kena marah terus." Kemudian, dia tertawa.

"Kurang baik apa lagi aku selama ini, selalu sabar menjadi pelampiasan marahmu?" Jimin tersenyum. Ah, ini lebih tepatnya mengejek.

Sekarang, wajahnya Jimin yang jadi korban lemparan kulit kuaci milikku. "Berisik, ah! Aku lagi cemburu, Jimin. Jangan diganggu!"

"Kalau lagi cemburu, ya cemburu aja. Tidak usah wajahku juga yang kena korban. Sudah rese, tukang nyampah lagi!" Jimin segera memungut sampah kuaci yang berserakan di tanah karena ulahku.

Baru saja ingin melempar kulit kuaci-nya ke wajahku lagi, Jimin langsung terkekeh setelah aku menatapnya tajam. "Apa?! Mau balas dendam?"

"Ampun! Tidak jadi, deh. Maaf, ya."

"Dasar rese! Aku enggak mau tahu, ya. Pokoknya, kamu harus buat Jisu putus dengan Vee supaya aku yang jadi kekasihnya. Gimana pun caranya, pokoknya harus berhasil. Terserah kamu mau ngapain, kek. Intinya, kita harus bersatu!"

Jimin malah tertawa dan mengejekku, "Kita? Maksudnya kita berdua?"

"Ihs! Maksudnya aku sama Vee, lah! Kamu harus halangin tuh, Jisu yang dibucinin banget sama dia. Rencana kita pokoknya enggak boleh gagal!"

Jimin ikut membantu merapikan sampah milikku dan membuangnya di tempat sampah. "Kalau akhirnya kamu yang jatuh cinta sama aku, gimana?"

Kupukul bahunya. "Ihs, apaan, sih?! Kamu tau 'kan, kalo aku itu udah lama banget suka Vee. Mana mungkin tiba-tiba jadinya suka kamu?"

"Aku akan membuat yang tidak mungkin itu menjadi mungkin." Lalu, Jimin tertawa.

"Terserah, intinya kamu harus menepati janji. Bantu aku mendekati Vee atau persahabatan kita berakhir." Aku melempar kulit kuaci ke wajahnya dengan sengaja.

Tapi, hal itu justru membuat tawa Jimin semakin keras. Emosiku kian meledak, tentu saja. Setiap aku membicarakan hal serius mengenai pria yang kusukai sejak dulu, Jimin selalu meresponnya begini.

"Iya, aku bantu. Tapi, kalau hal lain terjadi padamu, aku tidak mau tau, ya. Tanggung jawab sendiri. Aku hanya membantumu saja, tidak bisa mengontrol perasaanmu akhirnya berhenti untuk siapa."

"Banyak omong sekali! Lihat, kita kehilangan jejak Jisu dan Vee." Aku menghentakkan kaki karena kesal. "Ayo, pokoknya kita harus cari mereka sampai ketemu!"

Kemudian, aku menarik Jimin untuk segera bangkit dari tempat duduk itu. "Ayo, cari mereka!"

"Ih, ogah! Aku seperti orang aneh saja mengikuti orang yang sedang pacaran. Kalau kamu mau ikuti, ikuti saja sendiri. Aku mau pulang!"

"Ya sudah, aku mau pergi sendiri!" Dengan segera, aku melepaskan tanngan Jimin dan langsung meninggalkannya. Mencari keberadaan Jisu dan Vee yang entah ke mana.

BTS (ONE-SHOOT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang