"Why You Love Me?"

33 3 0
                                    

Tiap pulang sekolah, fantasiku saat membayangkan suasana kamar, selalu sama. Meski banyak hal yang bisa kulakukan karena fasilitas yang Ayah berikan padaku, bisa saja aku melakukan apapun yang kumau. Banyak uang, teman yang banyak, cantik, pintar? Bahkan, semua predikat itu sudah kumiliki sejak kecil. Tidak sedikit orang lain yang melihatku mengatakan jika mereka iri dengan kehidupanku.

Katanya, orang kaya itu enak. Bebas mau melakukan apa saja dan beli apa saja. Ketika ingin sesuatu, ya tinggal keluarkan uang dari dompet yang tidak pernah tipis. Mau pesta dengan teman-teman juga gampang, tinggal ajak mereka saja tanpa harus takut akan ditolak. Bosan menjomblo? Mau cari pacar untuk menyingkirkan rasa kesepian? Bisa saja aku memilih pria yang ingin kujadikan kekasih hari itu juga.

Setiap tahun, namaku diumumkan satu sekolah sebagai siswi berprestasi. Dua buah lemari di kamarku hampir sepenuhnya diisi oleh penghargaan maupun medali yang kudapatkan dari hasil berbagai perlombaan bidang olahraga, bahkan cerdas cermat. Aku adalah kebanggaan keluarga, bisa dibilang begitu. Hal itu membuat Ayah dan Ibuku telah mempercayai apapun yang kulakukan. Mereka sangat memberikan kebebasan untukku.

Lalu, apakah hidup yang seperti ini dianggap sempurna?

Jawabannya, tidak.

Memiliki semua yang kusebutkan tadi, sama sekali tidak menjamin kebahagiaanku. Mampu mendapatkan apapun dengan mudah, rasanya membosankan. Hidupku seperti hanya datar dan hambar.

🌧🌧

"Loh? Kok, malah kamu yang jemput? Kata Mama, kamu ada kelas?"

Pria ini bukanlah kekasihku, melainkan supir pribadi Mama, sebenarnya. Tapi, entah kenapa malah dia yang menjemputku. Padahal, seharusnya aku diantar supir pribadiku sendiri.

"Nggak apa-apa. Masih keburu, kok." Dia membukakan pintu untukku. "Ayo, masuk."

Kemudian, ia mengikuti langkahku untuk masuk ke dalam mobil.

"Kamu nggak bolos lagi, kan?"

"Tenang saja, Nona Vallerie. Hari ini aku masuk, kok." Pria di sampingku ini terkekeh sambil menggaruk tengkuknya.

"Awas aja kalau kudengar dari Jimin dan bilang kamu titip absen lagi."

Ingin menarik seatbelt, dia memperhatikanku yang sedang menikmati pemandangan. Karena risi, aku ikut menoleh padanya. "Apa?"

"Tidak," kembali ia mengenakan sabuk pengaman. "Bagaimana sekolahnya hari ini? Menyenangkan?"

"Biasa saja."

"Lelah?"

"Ya, begitulah."

"Kita harus ke mana untuk menghilangkan rasa penatmu?" dia bertanya random, dan itu membuatku sedikit terhibur dengan pertanyaannya.

"Pulang ke rumah dan tidur."

Dia tertawa, namun hanya sebentar. "Membosankan sekali hidupmu, Val."

"Lalu?"

"Jalan-jalan sebentar atau pergi ke kafe nggak bikin kamu capek banget, loh. Mau pergi?" ujarnya sembari fokus menyetir.

Aku menoleh padanya, "Kamu ngajak aku?"

"Kalo kamu mau, aku bisa temani."

Saat aku menyeringai, dia terlihat gugup. Kemudian, menetapku sebentar. "Jangan salah sangka dulu, aku cuma menawarkan. Kalo nggak mau, ya sudah."

"Kalau begitu, mau antar aku beli buku dulu?"

"Dengan senang hati." Setelahnya, dia tersenyum padaku.

BTS (ONE-SHOOT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang