"The Royal Wifeness"

23 1 0
                                    

Oke, Jungkook. Makan siang hari ini harus ditemani sebungkus roti dan susu pisang dulu. Sisa uang saku yang kubawa hanya cukup membeli itu saja, sebab aku baru kecopetan. Untung masih ada sisanya. Kalau habis semua, mungkin aku tidak bisa menikmati ini. Jauh-jauh datang dari Busan, niatku sebenarnya ingin mencari alamat rumah nenekku yang ada di pedalaman desa. Dari pagi sudah berangkat, namun aku belum menemukan alamat yang tepat.

Mana belum sarapan.

Kesialan sedang menimpa diriku. Beberapa kali aku berhenti untuk beristirahat atau sekedar bertanya-tanya kepada masyarakat yang berasal dari daerah tertentu, namun salah satu dari mereka tidak ada yang mengetahui alamat yang kucari. Aku ini seorang Jeon Jungkook yang hanya merindukan Kakek dan Nenekku. Kenapa hidupku selalu dipersulit, sih?

Tidak lama saat membuka bungkus roti dan hendak melahapnya, seorang gadis remaja sekiranya berusia tujuh belas tahun datang menghampiriku.

"Bisakah Paman memberikan sedikit makanan untukku?"

Bersama wajah yang terlihat menyedihkan, aku jadi tidak tega membiarkannya kelaparan. Tetapi, hanya roti dan susu pisang ini yang bisa menyelamatkan perutku.

Bagaimana, ya?

"Aku lapar sekali, Paman. Tidak ada yang mengasihaniku."

"Well, baiklah." Kuberikan sebungkus roti dan sebotol susunya pada gadis malang tersebut. "Makan dengan baik, ya. Selamat menikmati."

Mendadak matanya berbinar, "Ini untukku, Paman? Sungguh?"

"Makanlah."

Aku berusaha ikhlas. Memberikan sesuatu kepada orang yang lebih membutuhkan itu adalah suatu kebaikan yang tak terhingga pahalanya. Siapa tahu, urusanku jadi dipermudah hanya karena menolong gadis remaja ini. Sebab, Tuhan itu maha adil.

Meski perutku benar-benar keroncongan, tetapi hanya dengan melihat gadis malang ini menyantap rotinya, membuat rasa laparku seketika menghilang. Aku senang saat melihat orang lain senang. Berbagi kebahagiaan jauh lebih bermanfaat jika dibandingkan merasakan kebahagiaan itu seorang diri.

Dia menikmati makan siangnya lahap sekali, sampai aku yang memperhatikannya ikut tersenyum. Kuusap kepala gadis itu, "Lapar sekali, ya? Berapa hari tidak makan?"

"Tiga hari, mungkin?" katanya. "Paman tahu tidak, aku kabur dari istana karena Kak Eleanor memaksaku untuk sekolah di tempat khusus kerajaan. Tetapi, aku menolak. Jadi, aku memutuskan untuk meninggalkan istana."

Aku dibuatnya terkejut. Bahkan, tanpa sadar mataku membulat dan menatapnya tak percaya. "Kerajaan? Jangan bilang, kau adalah sepupu dari Putri Eleanor yang beritanya disembunyikan dari masyarakat?"

"Paman mengetahui semuanya?"

"Dari ceritamu aku sudah paham, sih. Tapi, apa itu benar?"

Dia mengangguk sembari mengunyah makanannya dengan nikmat. "Well, iya."

"Kenapa kabur dari istana? Bagaimana jika orang-orang mengenalmu dan akan membawamu ke istana lagi?"

Tatapannya beralih padaku. Dia berhenti mengunyah, "Namaku Aily."

"Aku tidak bertanya namamu," sahutku cepat. "Aku bertanya, kenapa kau kabur dari istana dan menghindari keluargamu?"

"Sudah kubilang, mereka memaksaku untuk bersekolah di khusus kerajaan. Aku tidak mau dan memilih kabur dari mereka."

"Setidaknya, pilihan untuk melarikan diri bukanlah jalan terbaik. Jika sesuatu terjadi padamu, siapa yang mau menolong? Jangan berpikir jika kau adalah ratu, orang-orang akan berbaik hati dan bersedia menyediakan tempat tinggal untukmu. Orang tidak semuanya baik, Putri."

BTS (ONE-SHOOT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang