"J-Phile"

15 1 0
                                    

Masih ingin saling memeluk, aku bersama kekasihku hanya duduk di sebuah kursi yang berada di balkon kamar. Menikmati pemandangan kota Maldives dari lantai sebelas, tempat di mana kami menginap dan saling mengenal satu sama lain.

Posisiku di pangkuannya. Selama hampir sepuluh menit, dia hanya mencuri-curi kecupan ringan di seluruh wajahku sebagai perayaan hari jadi kami yang baru saja resmi.

"Apa warna favoritmu?"

"Eum, Pink."

"Pink? Pink itu identik dengan sifat lembut dan penyayang."

"Baik hati juga!"

Kekasihku tertawa menanggapinya, "Warna favorit kita sama, omong-omong. Kita ini cocok sekali, bukan? Selera kita juga sama. Memang pasangan yang sangat serasi."

"Beberapa orang beranggapan bahwa warna favorit itu hanya alih-alih karena mereka terbiasa dengan warna barang yang dipakainya saat pertama kali mengenal warna. Bukankah begitu?"

"Benar," sahutnya lagi. "Tapi, aku pribadi menyukai warna pink karena saat itu ibuku selalu membelikanl barang apapun warnanya pink. Tahu tidak, kenapa alasannya?"

Aku masih mendengarkan. Sedikit memiringkan kepala, sebab penasaran dengan jawaban kekasihku ini. "Karena dulu ibu sangat ingin memiliki anak perempuan setelah kakak laki-lakiku lahir. Tapi, aku malah terlahir laki-laki juga. Eh, keterusan jadi suka warna pink. Haha."

Kupeluk tubuhnya yang selalu menghangatkan, dia membalasnya seraya mengusap suraiku. "Tapi, untungnya aku terlahir laki-laki."

"Kenapa?" aku mendongakkan kepala.

"Kalau aku perempuan, tidak bisa jadi kekasihmu." Dia terkekeh, "Suatu keuntungan juga bagiku. Aku makin merasa bangga jadi lelaki."

Jemariku mengusap wajahnya, sehingga kurasakan ia spontan memejamkan mata. "Kalaupun kita tidak jadian, aku tetap bangga jadi perempuan."

Tawanya makin keras, "Iya, iya. Semakin Lia ini mengpede, semakin sayang diriku. Itulah yang aku suka."

"Aku seperti ini karenamu."

"Karena aku?"

"Oh, tidak. Maksudnya, karena lagu Epiphany yang kau ciptakan sangat cocok untukku yang saat itu masih pemalu dan sering tidak percaya diri. Dulu, aku suka membandingkan standarku dengan apapun yang dimiliki orang lain. Ternyata, hidupku selalu merasa kurang dan jarang mensyukuri apa yang kumiliki saat itu. Aku terlalu fokus dengan kelebihan orang lain, tanpa melihat kelebihan yang kupunya."

Dia tersenyum, "Itulah alasannya mengapa kau harus hidup sedikit lebih cuek. Semua orang itu masing-masing memiliki versi dan gaya hidup yang berbeda. Ini versimu, dan itu versi mereka. Gaya hidupmu tentu berbeda dengan gaya hidup mereka. Satu hal yang perlu kau tahu bahwa semua orang pasti memiliki keunggulan, dan dirimu harus lebih fokus dengan kelebihanmu. Tinggalkan standar orang lain, jadilah dirimu sendiri. Bangga dengan versi yang kamu miliki, karena belum tentu orang lain memiliki apa yang kamu miliki selama ini. Dijamin, itu akan membuatmu selalu merasa cukup dan semakin bersyukur."

Kepalaku diusaknya. Kekasihku ini pintar sekali memberikan nasihat. "Iya deh, yang menjadi inspirasi banyak orang. Tidak kusangka, aku akan diberi nasihat secara langsung disaat ribuan penggemar hanya bisa mendengarkan lagumu. Aku merasa beruntung sekali-sampai berpikir bahwa, apa aku cocok memiliki kekasih yang sempurna seperti Kim Seokjin ini?"

Kedua tangannya kemudian meraup wajahku. "Dulu, kau boleh mengetahui sisiku yang seperti itu. Mengetahui kepribadian seorang Kim Seokjin yang sempurna, tampan, kaya, terkenal, pintar memasak, pribadi yang menyenangkan, lucu, berisik, dan memiliki segalanya. Tetapi, sekarang-bisakah kau juga menerima seseorang Kim Seokjin yang cengeng, kekanakan, memiliki alergi bawang putih dan pinggiran roti? Kim Seokjin yang memiliki jari keriting, penakut, latah dan memiliki pengelihatan yang kabur? Kepribadian seorang Kim Seokjin, bukan sebagai Jin BTS." Tuturnya.

BTS (ONE-SHOOT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang