Di Kelas Bahasa Korea

966 85 3
                                    

Di usia tujuh belas tahun, Junkyu didiagnosa memiliki gangguan pada indra penciumannya.

"Apa itu sesuatu yang serius?" tanya Nyonya Kim. Wanita itu tampak khawatir.

"Ini bukan sesuatu yang berbahaya, tetapi kondisi ini mungkin akan mempengaruhi pergaulannya. Junkyu mengalami kondisi yang selektif, dia masih bisa mencium dengan relatif normal--artinya dia bisa mengenali dan membedakan, misalnya, aroma cokelat dari aroma stroberi. Dia hanya kesulitan mengenali pheromone yang diproduksi oleh orang-orang yang memiliki gender kedua."

"Artinya?"

"Dia mungkin tidak bisa membedakan antara alpha, omega, ataupun beta."

-----

"Kau bau," kata Junkyu. "Tolong katakan kau akan mandi sebelum pulang."

Mashiho menjatuhkan bola basketnya. Remaja yang baru saja selesai dengan latihannya itu memicingkan mata ke arah sang alpha.

"Orang-orang selalu memujiku saat bermain basket."

Junkyu, yang sedang menyeruput milktea favoritnya, nyaris tersedak. "Siapa? Itu mungkin karena mereka tidak cukup dekat untuk mencium keringatmu."

"Semua alpha, kecuali kau," jawab Mashiho dengan penuh penekanan. "Dan aku memakai deodoran!"

"Alpha lain pasti memiliki gangguan indra penciuman," cibir Junkyu. "Dan mereka memuji skill-mu. Aku tidak pernah mendengar mereka bicara soal bau badanmu."

"Itu, itu maksudku!" Mashiho membalas sengit. "Mereka tidak pernah bicara soal itu, karena itu tidak benar!"

"Hey, kau berlumuran keringat. Tidak wangi sama sekali!"

Mashiho menggaruk pelipisnya, bingung bagaimana cara menjelaskan. "Bukan wangi dalam arti sebenarnya, Junkyu."

"Tadi kau yang bilang begitu!" protes remaja yang duduk di bench. "Tunggu, kau tidak bicara soal feromon, 'kan?"

Mashiho memungut bola basketnya, mendekati Junkyu. "Kau sungguh tidak masuk akal." Ia berdecih. "Aku mencoba untuk mengatakan, orang-orang berpikir aku sangat menarik setelah bermain basket."

"Menarik apanya?!"

Mashiho buru-buru membekap mulut temannya. Matanya bergulir memandang sekeliling.

"Jangan berteriak!" desisnya.

Junkyu, yang mulutnya masih dibekap, menjawab tidak jelas.

Meninggalkan kawannya, Mashiho berjalan ke sisi lain lapangan, memungut bola-bola lain yang tercecer, dan meletakkannya ke dalam keranjang.

"Jadi, yang di halte tadi itu siapa?" tanyanya.

Junkyu tidak langsung menjawab. Dia merebahkan tubuh di bench, dan memandangi rangkaian pipa yang menopang stadium olahraga. Dia menghela napas.

"Aku tidak kenal siapa dia."

"Sungguh?" Mata Mashiho melebar. Dia pikir sosok di halte bus tadi pagi adalah pacar Junkyu atau semacamnya. Bagaimana tidak? Sosok itu mencium Junkyu di depan semua orang.

Kawannya mengangkat bahu. Dia menatap lurus ke arah Mashiho. "Apa aku akan berbohong soal ini? Kau kenal aku, 'kan? Pertemanan atau hubungan, itu sulit buatku."

Di masa lalu, Mashiho sering menyarankan agar Junkyu lebih sering keluar. Bertemu orang-orang baru, atau sekadar makan di luar bersamanya. Ia bahkan beberapa kali mengajak Junkyu untuk menonton film di bioskop. Hasilnya nihil.

Junkyu terlalu homebody. Dia lebih memilih untuk menonton film dengan DVD player di kamarnya, memesan dakgangjeong pedas dan makan di rumah. Anak itu nyaris tidak pernah keluar kecuali untuk pergi sekolah.

Di sisi lain, Mashiho tidak keberatan untuk berkunjung ke rumah Junkyu. Mereka menghabiskan waktu dengan memasak bersama dan piknik di halaman belakang. Namun, Mashiho adalah sosok remaja sporty. Dia bergabung di tiga klub olahraga berbeda di sekolah. Dia suka pergi ke luar dan menonton pertandingan street basketball. Dia suka menari.

Oke. Junkyu dan Mashiho bisa melakukan hal yang mereka sukai secara terpisah. Namun, seiring berjalannya waktu, hari-hari menjadi terasa sepi, dan mereka lebih seperti orang asing.

Hubungan asmara mereka berlangsung singkat. Mashiho merasa, menjadi teman atau kekasih Junkyu, keduanya sama saja. Mereka nyaris tidak pernah berkencan.

Mereka berfungsi lebih baik sebagai teman. Hari ini adalah buktinya. Selama keduanya menjalin hubungan, Junkyu tidak pernah sekalipun berinisiatif untuk menggenggam tangan Mashiho, apalagi membantunya turun dari bus.

"Jika dia sudah berpikir seperti itu, tidak ada yang bisa kulakukan," gumam Mashiho.

Dia berlari mendribble bola dan melakukan shooting ke arah ring dari tengah lapangan. Ketika lemparannya masuk, Mashiho berseru girang. Sementara itu, di bench, Junkyu menguap.

-----

Seminggu berlalu. Mashiho bahkan sudah lupa soal Junkyu, tindakan anehnya, dan orang asing di halte bus. Kecuali, saat remaja itu masuk ke kelas bahasa Korea, dia ada di sana.

Ketika melihat Mashiho, remaja tanggung itu berdiri.
Mashiho pikir, 'Oh, dia tinggi.'

Membungkuk sembilan puluh derajat. Sosok tinggi itu memperkenalkan diri.

"Aku Watanabe Haruto, salam kenal."

Untuk sesaat, Mashiho membeku. Hidungnya tidak mencium aroma khas seorang alpha atau omega. Dia justru mengenali aroma khas anak-anak yang masih melekat pada sosok yang memperkenalkan diri sebagai Haruto. Aromanya nyaris seperti sekotak  plain milk yang baru saja dibuka.

Haruto mengatakan kalau usianya masih lima belas tahun. Namun, ia belum fasih berbahasa Korea. Bukannya mengatakan 'lima belas', dia justru menggunakan kata yang salah dan mengucapkan 'sepuluh lima'.

Itu adalah kesalahan yang manis. Orang-orang yang berada di kelas tertawa saat mendengarnya, termasuk teman Mashiho, yaitu Yoshinori.

"Yoshi-hyung!" protes Haruto. "Kalau aku salah, Hyung harusnya mengoreksi. Kenapa malah tertawa?"

Mashiho tersenyum lebar dan balas membungkuk. Kemudian, dia mengoreksi kalimat yang Haruto gunakan saat menyebutkan usianya. Hari itu, di kelas, mereka duduk bersama.

Sepulang les, Mashiho, Yoshinori, dan Haruto mampir ke gerai Baskin Robbins. Selagi menunggu Very Berry Strawberry pesanannya, Haruto bercerita kalau dia pindah dari Fukuoka sekitar tiga bulan lalu.

"Kau pindah tiga bulan lalu tapi baru masuk sekolah sekarang?" tanya Yoshinori.

"Ah, ah, bukan begitu." Haruto buru-buru menjelaskan. "Aku melakukan home schooling dan akan mulai masuk sekolah umum minggu depan."

Mashiho mengangguk paham, dan berkomentar. "Home schooling bisa sangat membosankan."

"Itu benar. Selama home schooling aku nyaris tidak punya teman."

"Dan lihat apa yang kau dapatkan di hari pertamamu keluar rumah!" seru Yoshinori. Dia tampaknya menemukan sosok adik kecil dalam diri Haruto. "Aku dan Mashi akan menjadi temanmu!"

Haruto sepertinya tipikal anak manis yang lugu. Namun, Mashiho tidak bisa berhenti berpikir tentang apa yang terjadi di halte bus.

Ketiganya pulang bersama, setidaknya sampai Mashiho harus mengambil jalan berbeda di persimpangan untuk sampai ke rumah.

Secara tidak terduga, daripada Junkyu, Mashiho justru lebih dulu menemukan Haruto.

"Dan itu adalah alasan kenapa seseorang harus lebih sering keluar rumah!"

-----

Double Shots (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang